Obligasi Daerah, Sudah Siapkah Jember? (Radar Jember, 28 Oktober 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari*

Mengingat besarnya nilai transaksi investor lokal Jember dan sekitarnya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember diharapkan dapat memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif pendanaan pembangunan melalui obligasi daerah (Radar Jember, 23 Oktober 2008). Pertanyaannya, sudah siapkah Jember mewujudkannya?

Penerbitan obligasi memang merupakan alternatif pembiayaan yang relatif murah. Dana yang bisa diperoleh cukup besar. Namun demikian, banyak konsekuensi yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah (Pemda) sebagai issuer. Pertama, Pemda dituntut untuk memiliki kapasitas fiskal untuk dapat menerbitkan obligasi daerah. Sebab, meskipun penerbitan dan penjualan obligasi daerah dapat merengguk manfaat yang besar bagi pembangunan ekonomi daerah, namun obligasi ini memiliki potensi risiko yang tinggi.

Kedua, konsekuensi logis dari penerbitan obligasi adalah tuntutan transparansi dan akuntabilitas oleh investor kepada Pemda sebagai issuer. Investor akan selalu memantau kinerja Pemda dalam mengelola dana pembangunannya. Selain untuk membayar kewajiban berjalan, investor akan menuntut kinerja dan pelaporan yang harus baik. Tuntutan inilah yang dikhawatirkan. Banyak pihak meragukan kemampuan Pemda untuk memenuhi tuntutan ini. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas juga mesti dijalankan dalam memilih lead underwriter. Tidak boleh ada kepentingan terselubung apapun yang mempengaruhi. Ini merupakan langkah krusial yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasar terhadap obligasi yang diterbitkan. Termasuk tidak membiarkan investment fund company melakukan segala bentuk window dressing dan Pemda hanya tinggal tanda tangan.

Ketiga, perlunya kesadaran dan kesiapan Pemda untuk menanggung sendiri risiko yang mungkin timbul. Pemerintah pusat tidak akan ikut bertanggung jawab atas kewajiban yang muncul, baik berupa bunga maupun pokok obligasi. Inilah dilematis yang menghinggapi Pemda selama ini dalam menerbitkan obligasi daerah. Makanya, meski wacana obligasi daerah sudah santer terdengar sejak beberapa tahun lalu, namun hingga saat ini belum ada satupun daerah di Indonesia yang menerbitkannya.

Jawa Timur (Jatim)
Sejumlah pihak meyakini, sudah saatnya Jatim melatih memisahkan diri dari pemerintah pusat. Dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbatas, sementara potensi sumber ekonomi masih belum tergali, maka salah satu produksi yang dapat dilakukan yaitu menerbitkan obligasi daerah. Instrumen ini nampaknya dapat diandalkan dalam upaya menghimpun dana pembiayaan pembangunan daerah, khususnya proyek infrastruktur dan layanan publik.

Banyak pihak mengharapkan Pemda Jatim dapat menjadi pionir penerbitan obligasi daerah melalui perusahaan investasi daerahnya, PT Jatim Investment Management (JIM). Namun, bila dilihat dari sisi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jatim, belum banyak yang layak secara size untuk go public, selain PT Bank Jatim.

Pada 2004 lalu, pasca pengesahan Undang-Undang (UU) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Jatim pesimistis terhadap penerbitan obligasi daerah. Hal ini disebabkan ketatnya persyaratan untuk mengeluarkan obligasi daerah. Misalnya, persyaratan neraca daerah, aset daerah, PAD yang dijaminkan, dan kewajiban adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Itulah yang menjadi alasan mengapa hingga kini Jatim belum menerbitkan obligasi, selain sejumlah kekhawatiran lainnya dalam menghadapi risiko yang cukup tinggi bagi perekonomian daerah.

Gagasan obligasi daerah di Jatim sempat menghangat, ketika Jembatan Suramadu tersendat lantaran tidak adanya dana. Namun, gagasan itu tidak mendapatkan sambutan karena besarnya risiko yang diakibatkan jika obligasi tidak bisa dibayarkan. Sekali lagi, banyak pihak yang meragukan kesiapan, kemampuan, dan kapasitas Jawa Timur dalam menerbitkan obligasi daerah.

Kini, pasca terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No.147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah, Jatim mulai mempertimbangkan kembali untuk segera menerbitkan obligasi daerah. Kelangkaan sumber dana untuk membiayai sarana umum infrastruktur yang besar mendesak Jatim untuk mencari jalan untuk menggalang sumber dana. Ini memang bukan perkara mudah. Sebab, selama 32 tahun, daerah dibiasakan menerima kucuran dana dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan. Bahkan, sebagian anggaran rutin pun masih disubsidi dari pemerintah pusat.

Siapkah Jember?
Selain konsekuensi yang diterima Pemda, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Pemda pula dalam menerbitkan obligasi. Yaitu, menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai obligasi dan seluk beluknya. Kemudian, Pemda harus menyiapkan proyek-proyek yang akan dibiayai dari dana obligasi itu beserta perhitungan cashflow-nya yang dapat dengan mudah dianalisis dan dipertanggungjawabkan asumsi-asumsinya.

Dalam menerbitkan obligasi, Pemda harus mengacu pada kebutuhan riil dan kemampuan bayar. Untuk mengantisipasi ini, Pemerintah pusat menetapkan persyaratan total hutang Pemda, termasuk kelonggaran tariknya, tak boleh melebihi 75 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (debt service coverage ratio/DSCR) tak boleh melebihi 2,5. Pemda juga harus menghindari reprofiling atas utang jatuh tempo pembayaran pokok obligasi yang mendorong makin besarnya biaya bunga obligasi dan mengurangi alokasi dana untuk pembangunan, serta hilangnya kepercayaan pasar. Nah, kembali pada pertanyaan awal, sudah siapkah Jember mewujudkan itu semua?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)