Merumuskan Solusi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi (Radar Jember, 15 OKtober 2008)

Oleh: Naurah Najwa Hairrudin
Beberapa pekan terakhir, petani di wilayah Jember dan Lumajang digelisahkan oleh tiadanya ketersediaan pupuk bersubsidi. Konon, kelompok tani sudah memperoleh jatah pupuk yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tanah garapan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan jatah pupuk yang diterima kelompok tani kurang dari kebutuhan.

Jika disimak, persoalan langkanya pupuk bersubsidi sesungguhnya bukan problem baru, tetapi sudah menjadi problem tahunan. Setiap kali menjelang musim tanam, pupuk melambung tinggi. Selain tingginya harga, stok pupuk di tingkat pengecer juga mulai sedikit. Kerap kali stok pupuk yang sampai di tingkat pengecer hanya setengah dari total kebutuhan pupuk di titik lokasi.

Untuk 2008, pemerintah telah berjanji akan menambah persediaan pupuk untuk masa tanam hingga 2009. Dengan meningkatnya aktivitas pertanian di beberapa provinsi, pemerintah berkomitmen untuk menambah belanja pupuk bersubsidi. Penambahan persediaan pupuk ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian 2008.

Mengacu peraturan menteri tersebut, penambahan meliputi semua jenis pupuk. Untuk pupuk Urea, pasokan ditambah dari 4,3 juta menjadi 4,4 juta ton, pupuk ZA dari 700 ribu menjadi 800 ribu ton, NPK dari 800 ribu menjadi 1,3 juta ton, dan pupuk organik dari 345 ribu menjadi 450 ribu ton. Jawa Timur hampir selalu masuk dalam kelompok provinsi yang memperoleh tambahan pasokan. Namun sekali lagi, fakta di lapangan menunjukkan kelangkaan pupuk masih terus terjadi, utamanya pupuk Urea.

Sektor pertanian
Persoalan pupuk menjadi kritis karena terkait erat dengan sektor pertanian sebagai basis ketahanan pangan. Sejak satu dasawarsa terakhir, pembangunan sektor pertanian di Indonesia memang belum memenuhi harapan. Keterpurukan sektor pertanian semakin nyata ketika krisis ekonomi mengguncang Indonesia pada 1997/1998.

Pada level domestik, keterpurukan sektor pertanian dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam merumuskan perubahan kelembagaan yang baik sehingga justru menimbulkan disinsentif bagi petani. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan sektor pertanian kian tercermin dengan adanya ancaman krisis ketahanan pangan domestik beberapa waktu lalu akibat tingginya ketergantungan pada impor. Kecilnya Nilai Tukar Petani (NTP) dibanding Nilai Tukar Industri (NTI) juga menjadi pemicu turunnya motivasi berusaha tani sehingga menambah deretan persoalan yang memperpuruk sektor pertanian.

Sejumlah kegagalan kaum neoliberal dalam mengusung kebijakan ekonomi harusnya membuat kita semakin teguh mengoreksi kebijakan liberalisasi di sektor pertanian. Tidak ada yang salah jika pemerintah memberikan proteksi dan insentif yang memadai bagi petani, termasuk dalam menambah kuota pupuk bersubsidi bagi petani.

Langkah mendesak
Untuk mengatasi persoalan kelangkaan pupuk, dibutuhkan penyelesaian mendasar dan komprehensif terhadap berbagai aspek yang menyebabkan munculnya kelangkaan tersebut. Adapun langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah dalam jangka pendek dan menengah adalah, pertama, untuk memenuhi kebutuhan masa tanam dalam waktu dekat ini, pemerintah perlu menyediakan tambahan pupuk sebagai cadangan untuk dibagikan ke daerah yang tinggi serapannya.
Kedua, untuk mengeliminir kelangkaan pupuk jenis tertentu, petani perlu mencoba menggunakan pupuk majemuk. Misal, untuk menggantikan pupuk urea yang paling sering mengalami kelangkaan, petani dapat menggunakan pupuk dengan kandungan N, P, K, dan S.

Ketiga, perlu diupayakan agar setiap petani masuk ke dalam kelompok tani atau membuat kelompok tani baru. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan ketersediaan pupuk dapat diadvokasikan kepada Dinas Pertanian selaku pihak yang berwenang dalam menentukan kebutuhan pupuk bersubsidi. Hal ini juga mengingat Dinas Pertanian menggunakan mekanisme pendistribusian pupuk bersubsidi secara tertutup karena mengacu pada pola Rencana Dasar Kebutuhan Kelompok (RDKK).

Keempat, pemerintah perlu menghitung lebih akurat kebutuhan petani di masing-masing daerah. Perhitungan akurat ini penting mengingat produsen pupuk hanya memproduksi pupuk sesuai permintaan pemerintah. Terkait dengan kelangkaan pupuk, produsen pun hanya mampu menambah stok pupuk sesuai permintaan pemerintah.

Kelima, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja keras untuk membenahi tata niaga dan distribusi pupuk. Di lapangan, kerap kali ditemukan daerah-daerah yang sangat kekurangan, sementara di daerah lain justru kelebihan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan kelancaran distribusi dan menindak tegas pengecer tidak resmi dan distributor nakal guna menjamin penyaluran pupuk bersubsidi yang benar-benar tepat sasaran dan minim penyimpangan.

Untuk jangka panjang, kebijakan pemerintah haruslah mengembalikan sektor pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi. Sembari melangkah pada upaya collective farming dan reforma agraria, pemerintah perlu menuntaskan pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jalan, irigasi, penyuluhan, sistem informasi, jaringan pemasaran, pengadaan bibit, dan ketersediaan pupuk.

Secara keseluruhan, tantangan terbesar kita bersama dalam menghadapi berbagai persoalan di sektor pertanian adalah melanjutkan komitmen dan langkah nyata dalam mendampingi petani dan masyarakat, mengawasi komitmen politik pemerintah dan legistatif dalam mendukung pembangunan sektor pertanian, mengkritisi pelaksanaan tata kelola sektor pertanian, dan menjaga stabilitas pasar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)