Ekonomi Islam dan Indonesia Merdeka (Interaktif Ekonomi Syariah - Harian Duta Masyarakat, 3 September 2008)
Oleh: Khairunnisa Musari
Pertanyaan: Indonesia kini sudah genap 63 tahun merdeka. Saya melihat, Indonesia sebenarnya belum merdeka dalam arti sesungguhnya. Indonesia masih terjajah, utamanya dalam hal perekonomian. Hingga saat ini, Indonesia masih belum mampu memenuhi kesejahteraan masyarakat. Ketimpangan kian dalam. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Bagaimana ekonomi Islam dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia? (dr. Hairrudin, M.Kes, dosen FK-Unej, 081-2320xxxx)
Jawaban: Salam dr. Hairrudin, tampaknya anda memiliki perhatian lebih terhadap bidang ekonomi yang notabene di luar bidang keahlian anda. Saya senang sekali karena pertanyaan anda menunjukkan bahwa antusiasme terhadap ekonomi Islam tidak hanya menjadi milik praktisi ataupun akademisi ekonomi Islam semata.
Pertanyaan: Indonesia kini sudah genap 63 tahun merdeka. Saya melihat, Indonesia sebenarnya belum merdeka dalam arti sesungguhnya. Indonesia masih terjajah, utamanya dalam hal perekonomian. Hingga saat ini, Indonesia masih belum mampu memenuhi kesejahteraan masyarakat. Ketimpangan kian dalam. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Bagaimana ekonomi Islam dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia? (dr. Hairrudin, M.Kes, dosen FK-Unej, 081-2320xxxx)
Jawaban: Salam dr. Hairrudin, tampaknya anda memiliki perhatian lebih terhadap bidang ekonomi yang notabene di luar bidang keahlian anda. Saya senang sekali karena pertanyaan anda menunjukkan bahwa antusiasme terhadap ekonomi Islam tidak hanya menjadi milik praktisi ataupun akademisi ekonomi Islam semata.
Ya, 17 Agustus lalu Indonesia tepat 63 tahun merdeka. Saya kira, saya pun sepakat dengan anda bahwa Indonesia masih ‘terjajah’, utamanya dalam hal perekonomian. Banyak bukti yang bisa kita lihat bersama betapa imperialisme dan kapitalisme masih menguasai Indonesia hingga detik ini.
Menurut Sri-Edi Swasono (2008), secara filsafat dasar, paham yang hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada dua, yaitu paham individualisme dan paham kolektivisme. Dalam perkembangannya, paham individualisme inilah yang kemudian berwujud menjadi paham liberalisme dan menjadi roh neoklasikal. Dalam paham ini, liberalisme dan individualisme menjadi sukma ekonomi laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan imperialisme.
Dikatakan Dawam Raharjo dalam pengantar Open Society: Reforming Global Capitalism yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia karya George Soros, laissez-faire capitalism adalah “...kapitalisme yang didasarkan pada pandangan fundamentalisme pasar, yang didukung oleh prinsip laissez-faire, yang didasarkan pada filsafat individualisme ...”.
Indonesia dan liberalisasi
Di Venezuela, Hugo Chavez dielu-elukan rakyat karena berani menasionalisasi industri tambang. Di Bolivia, Eva Morales pun diperlakukan sama. Di Thailand, Perdana Menteri (PM) Thaksin jatuh karena menjual Shin Corp kepada Temasek Singapura. Di Perancis, rakyat berdemonstrasi menolak rencana Pepsi Cola dari Amerika Serikat (AS) yang ingin membeli perusahaan makanan Danone. Di AS, perusahaan minyak China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dibatalkan untuk membeli Union Oil Company of California (UNOCAL).
Di Indonesia, fenomena tersebut di atas masih belum terlihat. Yang terjadi masih sebaliknya, satu persatu aset nasional diprivatisasi. John K. Galbraight dalam The Culture of Contentment (1992) menyatakan, privatisasi sarana-sarana sosial dan perusahan-perusahaan negara sesungguhnya bertujuan untuk mengubah hubungan kepemilikan. Pada gilirannya, distribusi kekayaan dan kekuasaan akan memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar, dan kaum pemupuk rente ekonomi terhadap korban masyarakat bawah.
Jelas, kita tidak bisa memungkiri bahwa dominasi kepemilikan asing di Indonesia terus meningkat. Liberalisasi terjadi dimana-mana. Komposisi kontrak karya tidak seimbang. Foreign Direct Investment (FDI) yang selalu disanjung ternyata juga tidak terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa. Sudah banyak literatur yang mengungkap bahwa manfaat yang diterima Indonesia atas FDI tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan.
Dalam Confession of an Economic Hit Man (2004), John Perkins sudah menceritakan konspirasi AS yang ingin menguras sumber daya ekonomi negara-negara berkembang. Dalam Washington Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002), Joseph E. Stiglitz menyatakan bahwa liberalisasi pasar dalam pasar keuangan bisa menyebabkan instabilitas perekonomian makro.
Dengan demikian, dapat kita katakan secara tegas bahwa seluruh buku di atas ini harusnya menjadi warning bagi Indonesia untuk lebih bijak dan arif menata negeri. Yang tidak kalah penting, Indonesia perlu mewaspadai adanya kepentingan untuk ‘menguasai’ Indonesia yang bersembunyi dalam topeng globalisasi, liberalisasi, dan laissez-faire.
Indonesia dalam Ekonomi Islam
Jujur saja, pertanyaan anda cukup sulit dijawab. Selain kompleks, juga multidimensi. Butuh waktu panjang dan banyak lembar untuk bisa menjawab pertanyaan anda hingga sampai tataran implementasi. Kali ini, saya mungkin akan menjawab dalam tataran normatif. Hal ini menjadi penting, mengingat tataran ekonomi normatif merupakan pijakan awal dalam mewujudkan ekonomi positif. Terlebih lagi dalam ekonomi Islam, di mana Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hukum utama dari ekonomi normatif ekonomi Islam.
Untuk menjawab ‘bagaimana ekonomi Islam dapat menyelamatkan perekonomian Indonesia?’, saya kira kita bisa mengawalinya dengan pendekatan filsafat. Hampir semua pemikiran manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Sifat filsafat adalah nalar atau pemikiran. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir merupakan dasar pijakan pencarian solusi masalah kehidupan. Untuk itu, dalam memahami ekonomi Islam, penting sekali bagi kita untuk bisa memahami ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Dari sinilah kita bisa jelas melihat bahwa titik tolok ekonomi Islam bermuara pada kalamullah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran, selain pikiran-pikiran manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran).
Saya kira, bagi setiap orang beragama, ketika persoalan tak tertuntaskan oleh pemikiran manusia, tentu kita harus mengembalikan persoalan tersebut kepada Sang Pencipta. Atas dasar inilah, ekonomi Islam tidak dapat didudukkan sejajar dengan ekonomi mainstream. Sebab, ekonomi Islam adalah religious-economic atau spiritual-economic yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bagi seorang muslim, kita dituntut untuk meyakini kebenaran Al-Qur’an.
Secara garis besar, ada beberapa catatan penting yang bisa saya tekankan terkait dengan keberadaan ekonomi Islam dalam kontribusinya untuk menyelesaikan persoalan ekonomi di Indonesia. Pertama, dalam membangun kerangka ekonomi makro, Indonesia harus jelas dan tegas dalam menerjemahkan stimulus fiskal yang memadai dan efektif untuk sektor riil. Indonesia harus berani menunjukkan sikap untuk mengelola belanja negara sesuai dengan seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Untuk itu, Indonesia perlu menetapkan prioritas alokasi untuk mengkompromikan pengeluaran agar tidak melampaui sumber daya yang tersedia dan memperburuk ketidakseimbangan makroekonomi, eksternal, dan sektor riil. Beberapa pos yang harus menjadi perhatian besar dalam menciptakan stimulus fiskal, yaitu peningkatan kesejahteraan sosial, pengembangan pendidikan dan kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, pembangunan infrastruktur, membangun pertahanan keamanan, belanja pegawai, dan dakwah.
Kedua, Indonesia harus menempatkan ‘air, padang rumput, dan api’ sebagai prioritas pembangunan utama secara simultan. ‘Air, padang rumput, dan api’ merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling substansial, terlebih dalam kehidupan modern saat ini. Manusia berserikat dalam ketiganya. Pengamatan empirik menunjukkan, ketiganya menjadi pemicu konflik dan memiliki dampak ikutan paling signifikan dalam mempengaruhi kehidupan dan ekonomi masyarakat.
Ketiga, dalam rangka membangun kemandirian dan masyarakat madani yang bermartabat, Indonesia harus mencoba memperbaiki manajemen utang publik. Islam cenderung menghindari kebijakan defisit anggaran, sebab pencarian pinjaman bukanlah prioritas. Prinsip-prinsip yang dikedepankan dalam pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN) dalam ekonomi Islam adalah realokasi anggaran yang disesuaikan dengan jumlah penerimaan, dan menyalurkan anggaran belanja pada kegiatan-kegiatan produktif serta yang masuk dalam skala prioritas.
Keempat, ada sejumlah pos penerimaan dalam ekonomi Islam yang dapat diadopsi pemerintah Indonesia untuk menghindari defisit anggaran, yaitu zakat, sedekah, infak, dan wakaf. Jika pos-pos ini dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh diarahkan untuk kemaslahatan, maka kita meyakini bahwa pembiayaan pembangunan tidak perlu dengan mencari pinjaman. Kalaupun harus mencari pinjaman atau sumber pembiayaan lain, maka harus menghindari sistem ribawi. Dalam konteks kekinian, sukuk merupakan solusi pembiayaan yang dapat digunakan pemerintah Indonesia.
Kelima, prinsip-prinsip yang dipegang dalam semua kebijakan fiskal dan moneter adalah sejahteranya masyarakat. Penghapusan kesulitan hidup dan penderitaan harus diutamakan di atas penyediaan rasa tentram. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus lebih diutamakan di atas kepentingan minoritas yang lebih sedikit. Pengorbanan individu dapat dilakukan untuk menyelamatkan pengorbanan atas kerugian publik.
Ekonomi Islam dalam Indonesia Merdeka
Lebih jauh, melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia, paham kolektivisme sesungguhnya merupakan cita-cita para pendiri negeri ini. Doktrin kerakyatan Indonesia sudah dimantapkan sebagai paham kolektivisme. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat adalah konsepsi politik. Pendiri negeri ini menginginkan Indonesia untuk melindungi seluruh tumpah darah dan memajukan kesejahteraan umum. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Indonesia yang memiliki platform nasional Pancasila ini, sesungguhnya harmonis dengan ekonomi Islam. Pancasila menjangkau nilai-nilai lokal-kultural dan universal, serta merengkuh nilai-nilai moral-etika, sosial-ekonomi, dan sosial-religius. Kondisi ini diarahkan untuk terciptanya ukhuwah wathoniah. Rasulullah SAW ketika memimpin Madinah, telah memberi teladan untuk membangun negara yang penuh kerukunan, persatuan, dan keberadapan meski terdapat pluralisme. Negara Madinah adalah suatu contoh keberhasilan terbentuknya civilized society atau civil-society atau masyarakat madani. Inilah yang kita inginkan bersama untuk Indonesia Raya.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut