Ekonomi Memburuk, Apa Yang Bisa diperbuat Pemerintah Daerah? (Radar Jember, 22 September 2008)
Oleh: Khairunnisa Musari*
Beberapa pekan terakhir, tiga indikator penting ekonomi makro memburuk. Melorotnya nilai tukar rupiah, bergejolaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan laju inflasi yang berpotensi melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, menjadi sinyalemen penting bagi sektor riil nasional untuk waspada. Terlebih lagi, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang menyentuh level 9,25 persen. Bagaimana dengan daerah?
Beberapa waktu lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperingatkan pemerintah dan otoritas moneter untuk mewaspadai kecenderungan negatif tiga indikator ekonomi makro tersebut di atas. Hal ini dapat dipahami, mengingat beberapa pekan terakhir, indikator ekonomi makro Indonesia membuat banyak kalangan terperangah.
Beberapa pekan terakhir, tiga indikator penting ekonomi makro memburuk. Melorotnya nilai tukar rupiah, bergejolaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan laju inflasi yang berpotensi melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, menjadi sinyalemen penting bagi sektor riil nasional untuk waspada. Terlebih lagi, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang menyentuh level 9,25 persen. Bagaimana dengan daerah?
Beberapa waktu lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperingatkan pemerintah dan otoritas moneter untuk mewaspadai kecenderungan negatif tiga indikator ekonomi makro tersebut di atas. Hal ini dapat dipahami, mengingat beberapa pekan terakhir, indikator ekonomi makro Indonesia membuat banyak kalangan terperangah.
Pekan lalu, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dan nyaris mendekati level Rp 9.500. Kemerosotan rupiah akhirnya tertolong intervensi BI. Sementara itu, pasar uang yang sarat spekulasi kini juga tengah bergejolak. Bangkrutnya salah satu perusahaan investasi terbesar di Amerika Serikat (AS) memberi pengaruh terhadap pasar uang banyak negara.
Dalam waktu yang sama, inflasi nasional cukup tinggi. Laju inflasi Agustus 2008 memang turun menjadi 0,5 persen dari inflasi Juli. Namun, besaran tersebut belum memasukkan faktor kenaikan harga sembako dan gas elpiji. Diperkirakan inflasi September akan melonjak. Sebab, kenaikan harga sembako sudah mencapai kisaran 25 persen menjelang Lebaran.
Lebih jauh, suku bunga acuan BI memberi sinyal akan meningkatnya laju inflasi. Untuk meredamnya, BI menaikkan suku bunga hingga 9,25 persen. IHSG pun akhirnya sempat tertekan hingga level terendah di tahun ini. Dunia usaha pun was-was.
Anomali Ekonomi
Meski kita sering menyaksikan adanya anomali ekonomi mikro-makro dan ”growth paradox” antara sektor keuangan dan sektor riil, tetap saja kita tidak dapat menafikkan indikator ekonomi makro yang ada. Turbulensi faktor eksternal yang mempengaruhi ekonomi domestik, juga tak bisa dikesampingkan begitu saja. Meskipun demikian, sinyalemen pemerintah bahwa fundamental ekonomi Indonesia dalam kondisi baik, juga tidak boleh kita percayai begitu saja.
Catatan penting dari mencermati fenomena tersebut di atas adalah, sistem moneter Indonesia dan dunia sesungguhnya rapuh dan rentan terhadap berbagai gejolak. Tidak ada satupun yang mampu mengendalikan. Sifat sektor moneter akan menuju hal-hal yang bersifat jangka pendek, spekulatif, dan mobile. Siapapun yang mengikuti langgamnya, maka akan menjadi bulanannya.
Dalam perspektif ekonomi Islam, kekacauan yang terjadi ini sudah dapat diperkirakan. Hal ini dapat dilihat setidaknya dari, pertama, uang kertas yang kita gunakan saat ini memiliki nilai yang selalu berubah karena adanya inflasi yang bisa “menyurutkan” nilai. Kedua, di waktu lalu, sejak dilepasnya sistem crawling-band, BI menggunakan base-money targeting. Padahal, nilai uang yang digunakan itu cenderung berfluktuasi. Ketiga, transmisi BI untuk menstabilkan nilai rupiah ada yang menggunakan jalur suku bunga, kredit perbankan, neraca perusahaan, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi. Karena jalur transmisi tersebut ada yang berinteraksi dengan riba, syubhat, maisyir, dan gharar, maka hal tersebut diyakini akan menjadi ketidakbaikan dan sumber bencana.
Keempat, BI menggunakan BI Rate sebagai suku bunga instrumen sinyaling. Penggunaan suku bunga ini sesungguhnya derivasi dari riba. Fakta menunjukkan, suku bunga yang digaungkan dapat menjadi media kontrol ternyata juga tak bernyali dalam menstabilkan nilai uang dan moneter. Kelima, krisis ekonomi di Indonesia dan negara lain, sesungguhnya dipicu juga oleh “keterikatan” pada mata uang negara lain dan tidak pada dirinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang kita sulit stabil.
Keenam, kenyataan saat ini menunjukkan uang tidak lagi dijadikan alat tukar, tapi juga sebagai komoditi perdagangan dan ditarik bunga dari setiap transaksi peminjaman/ penyimpanan uang. Bahkan, uang kini juga kerap dijadikan alat spekulasi. Ketujuh, dalam konsep ekonomi Islam, uang harus mencerminkan sektor riil. Jika ada yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif, ini berarti mengurangi jumlah uang beredar yang berdampak pada tidak jalannya perekonomian. Hal ini berbeda dengan kebijakan BI yang menyimpan dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Menggerakkan Sektor Riil Daerah
Berbagai “keanehan” anomali ekonomi dan “growth paradox” di atas dapat dieliminir jika manajemen pemerintahan daerah mau bersikap “berani beda” dengan pemerintah pusat. Potensi sumber daya alam daerah sangat besar dan bila dikelola dengan kemandirian, maka akan menjadi cikal bakal terbangunnya fundamental ekonomi daerah yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai “keanehan”.
Jelas, agar perekonomian berjalan, maka sektor riil harus digerakkan. Pertumbuhan ekonomi harus didasarkan pada meningkatnya investasi dan bukan konsumsi. Daerah harus mengerahkan seluruh sumber daya dan tidak tergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) semata.
Kita bisa lihat, setelah 10 tahun reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak juga beranjak. Yang tumbuh hanya sektor jasa moderen, tetapi tidak untuk sektor riil. Padahal, sektor riil seperti pertanian dan usaha kecil lainnya, menempati dua pertiga jumlah masyarakat Indonesia. Lambatnya pertumbuhan sektor riil ini menimbulkan kesenjangan dan berimplikasi serius terhadap meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial.
Oleh karena itu, untuk mewaspadai memburuknya ekonomi makro, mari kita gerakkan sektor riil dengan membangun kemandirian untuk mengelola seluruh potensi daerah. Hindarkan perilaku riba, syubhat, maisyir, dan gharar karena hal itu yang akan “memakan” uang kita hingga tak bersisa. Mari kita kembali pada pertanian dan usaha kecil lainnya yang seakan terlupakan. Padahal, dari sanalah sumber kehidupan kita...
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut