Membuka Akses Kesehatan Berkualitas (Radar Jember, 8 September 2008)

Oleh:
dr. Hairrudin, MKes (Staf Pengajar Fak. Kedokteran-Unej)
Khairunnisa Musari (Peneliti INSEF)


Kesehatan merupakan hak semua warga negara yang dijamin oleh undang-undang (UU). Kesehatan juga merupakan salah satu elemen penting dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM), selain tingkat pendidikan dan pendapatan. Untuk itu, pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Dalam 10 tahun terakhir, status kesehatan masyarakat secara umum terus menunjukkan perbaikan. Hal ini tercermin dari berbagai indikator kesehatan, seperti angka kematian ibu (AKI) yang mengalami penurunan dari 334 pada 1997 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003. Untuk angka kematian bayi, terjadi pula penurunan dari 35 pada 2004 menjadi 29 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007. Selain itu, status gizi anak dan bayi usia di bawah 5 tahun (balita) juga mengalami perbaikan. Hal ini dapat disimak dari menurunnya jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi dari 34,4 persen pada 1999 menjadi 28 persen pada 2005 (SUSENAS, 1999 dan 2005).

Indikator kesehatan lain menunjukkan pula adanya sejumlah perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari umur harapan hidup pada 2006 yang meningkat dari 63,5 tahun (SUSENAS) menjadi 69,4 tahun (Proyeksi BPS, Bappenas, UNFPA). Namun demikian, untuk penyakit menular, ini masih menjadi masalah besar. Menurut catatan Departemen Kesehatan (Depkes), prevalensi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih di bawah 0,1 persen. Namun, pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan, di Papua, Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS telah masuk pada populasi umum dengan prevalensi 2,4 persen (usia 15 - 49 tahun). Dari sumber data yang sama ditunjukkan pula sekitar 110 juta orang di Indonesia tinggal di daerah endemik malaria dan sebagian besar berada di Wilayah Timur Indonesia.

Dengan demikian, harus diakui, berbagai capaian yang ada masih menyisakan pekerjaan rumah. Upaya-upaya yang lebih keras, intensif, dan berkesinambungan mutlak diperlukan. Hal ini mengingat, secara empirik, realitas di sekitar kita masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat yang belum atau minim memiliki akses kesehatan yang berkualitas. Persoalan ini memang erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan. Tetapi, itu tidak berarti tidak ada solusi untuk membuka akses, utamanya pada kelompok masyarakat miskin dan yang rentan terhadap kemiskinan.

Kapasitas layanan kesehatan
Dalam skala lokal, nasional maupun global, masalah dan tantangan yang dihadapi dunia kesehatan kian kompleks dan multidimensi. Dalam skala lokal, anggaran dana yang terbatas untuk kesehatan masih menjadi persoalan. Dalam skala nasional, penerapan desentralisasi bidang kesehatan banyak membuat perubahan baru dalam lingkungan strategis. Sementara dalam skala global, Indonesia dituntut untuk dapat mewujudkan sasaran millennium development goals (MDGs) pada 2015.

Menyoal kapasitas nasional dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, indikator-indikator layanan kesehatan menunjukkan kondisi yang masih jauh dari memadai. Pada 2004, setiap 100.000 penduduk dapat dilayani rata-rata oleh 3,5 pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Selain jumlahnya yang kurang, tingkatan kualitas, pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di Puskesmas masih menjadi kendala. Pada periode yang sama, baru terdapat 1.179 rumah sakit (RS) yang tersebar, yang terdiri dari 598 RS milik pemerintah dan 581 RS milik swasta. Sementara, jumlah seluruh tempat tidur yang tersedia di RS sebanyak 127.217 atau rata-rata 61 per 100.000 penduduk.

Tidak hanya itu, kualitas pelayanan sebagian besar RS pada umumnya juga masih di bawah standar. Pelayanan kesehatan rujukan juga belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Adapun yang menjadi kendala antara lain lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi, dan lamanya waktu tunggu.

Terkait dengan tenaga kesehatan, Indonesia juga masih mengalami kekurangan pada hampir semua jenis kebutuhan. Pada 2004, dokter umum diperkirakan baru melayani 7,7 per 100.000 penduduk. Untuk dokter gigi, dokter spesialis, dan bidan, berturut-turut baru melayani 2,7, 3,0, dan 8,0 per 100.000 penduduk. Demikian pula, sarjana kesehatan masyarakat baru melayani 0,5 per 100.000 penduduk. Lebih lanjut, angka untuk apoteker baru mencapai 1,7, untuk ahli gizi baru 6,6, tenaga epidemiologi 0,1, dan 4,7 untuk tenaga sanitasi.

Selain itu, banyak ditemui pula puskesmas yang belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh kesenjangan distribusi tenaga kesehatan, dimana sebaran tenaga kesehatan lebih besar terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar.

Membuka akses kesehatan berkualitas
Membuka akses kesehatan sama artinya dengan membuka akses pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara tidak langsung, hal ini merupakan bagian dari upaya penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, diharapkan masyarakat miskin ini mampu berusaha untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan.

Oleh karena itu, membuka akses kesehatan berkualitas, utamanya bagi penduduk miskin dan yang rentan kemiskinan, patut menjadi prioritas pemerintah. Berbagai kesenjangan kesehatan mengindikasikan bahwa sasaran layanan kesehatan pada waktu mendatang perlu lebih diarahkan pada peningkatan akses layanan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik dari aspek ekonomi maupun geografis. Untuk itu, perlu restrukturisasi dan reorientasi dari pemerintah untuk memperbaiki sistem agar seluruh elemen masyarakat dapat mengecap kesehatan berkualitas. Pada tataran normatif, hal ini sudah banyak tercetus. Namun, pada tataran implementasi, banyak sekali penyimpangan dan tiadanya keberpihakan. Inilah pekerjaan besar kita bersama...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)