Good Corporate Governance (Interaktif Ekonomi Syariah - Harian Duta Masyarakat, 4 Juni 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari
Pertanyaan: Beberapa kali saya mendengar tentang dibawa larinya uang nasabah oleh pemilik Baitul Mal Wat Tamwil (BMT). Padahal, setahu saya BMT berbasis syariah. Apakah BMT atau lembaga keuangan syariah tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) karena mentang-mentang sudah memiliki label ‘syariah’?

Jawaban: Beberapa kejadian yang merugikan nasabah akibat perilaku pemilik atau pegawai lembaga keuangan syariah yang tidak bertanggungjawab, memang membuat miris. Disaat insan syariah bekerja keras untuk meraih kepercayaan masyarakat, bersamaan pula muncul noktah yang mencoreng konsep syariah. Padahal, kita tahu bersama bahwa prinsip-prinsip syariah mengedepankan nilai-nilai moral, kejujuran, keterbukaan, dan keadilan bagi umat.

Namun demikian, kita harus bijak dalam membedakan antara konsep syariah dan manusia yang menjalankannya. Jangan karena ada manusia yang tidak benar dalam menjalankan konsep syariah, lalu serta merta pula kita menganggap bahwa konsep syariah demikian adanya.

Tidak bisa diingkari, permasalahan di level BMT sangat jauh lebih kompleks daripada perbankan syariah. Selain belum adanya regulasi, sumber daya manusia (SDM) dari BMT juga jauh dari memadai dibanding perbankan syariah. Selain lemah dalam manajemen bisnis, SDM dari BMT juga tidak memiliki dasar yang cukup terkait dengan pengetahuan fiqh. Memang tidak semua BMT dapat digeneralisir memiliki masalah yang sama. Namun, di lapangan menunjukkan bahwa 2 pokok permasalahan itu yang banyak ditemui.

Mengacu pada Pedoman GCG Perbankan Indonesia, bank diharuskan menganut, pertama, prinsip keterbukaan (transparency). Kedua, memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values, sasaran usaha dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability). Ketiga, berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank (responsibility). Keempat, objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan (independency). Kelima, senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fairness).

Sejalan dengan pedoman GCG, perbankan syariah sebagai salah satu bagian dari industri perbankan Indonesia pun otomatis harus mengikutinya. Tapi jika melongok jauh ke belakang, konsep GCG sebenarnya sudah sangat melekat dan hampir sama tuanya dengan sistem bagi hasil yang dianut perbankan syariah. Bahkan, GCG di sini bukan lagi diartikan sebagai Good Corporate Governance, melainkan God Corporate Governance (’GCG’). ’GCG’ inilah yang harusnya menjadi pedoman bagi seluruh institusi yang menggunakan embel-embel syariah. Sayang, ’GCG’ tidak sepenuhnya diterapkan oleh kebanyakan intitusi syariah, termasuk BMT. Hal ini dikarenakan tiadanya pemahaman dasar fiqh terhadap ekonomi syariah. Akibatnya, aplikasi ’GCG’ pun hanya berjalan di tempat atau malah tidak diketahui sama sekali keberadaannya.

Elemen-elemen dalam ’GCG’ yang harusnya menjadi karakter lembaga keuangan syariah selaras dengan pedoman GCG perbankan yang universal. Benar dan jujur (shiddiq), dapat diartikan bahwa institusi dalam mengelola usahanya harus berlandaskan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini, pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang diperkenankan (halal) dan menjauhkan dari hal-hal yang meragukan (syubhat), apalagi yang jelas-jelas dilarang (haram). Shiddiq di sini dapat diterjemahkan dalam bahasa konvensional sebagai sebuah transparency dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia institusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

Dapat dipercaya (amanah) merupakan elemen kedua dalam ‘GCG’. Institusi dituntut untuk menjaga ketat prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana dari pemilik dana (shahibul maal) agar tercipta kepercayaan antara pemilik modal dan pihak pengelola dana investasi (mudharib). Institusi juga harus memperhatikan semua kepentingan berdasarkan kesetaraan dan kewajaran. Sifat amanah ini merupakan keluaran dari responsibility dan fairness untuk menjaga kelangsungan usaha, peduli terhadap lingkungan, melaksanakan tanggung jawab sosial, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berkontribusi.

Dalam elemen ‘GCG’ ketiga, institusi harus berkesinambungan menyampaikan (tabligh) melalui sosialisasi dan edukasi kepada stakeholders (nasabah, masyarakat, internal perbankan, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan pihak terkait lainnya) serta shareholders mengenai kebijakan, manfaat dari produk dan jasanya, serta informasi lain yang mengedepankan kemaslahatan bagi semua pihak. Tabligh di sini dapat diterjemahkan dalam bahasa konvensional sebagai sebuah transparency, independency atau leadership yang tercermin dari kemampuan mengambil keputusan secara obyektif dan bebas dari tekanan pihak manapun serta selalu mengedepankan keterbukaan dan kejujuran.

Pandai dan cerdas (fathonah) adalah elemen keempat dari ‘GCG’. Dalam konteks ini, institusi diharapkan mampu mengelola dana secara pandai dan cerdas agar memberi keuntungan maksimum sesuai dengan tingkat resikonya. Institusi harus meyakini bahwa seluruh organnya memiliki kompetensi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi yang ditetapkan. Fathonah dalam bahasa konvensional dapat diterjemahkan sebagai sebuah accountability atau profesionalism, termasuk dalam hal ini adalah pelayanan yang penuh kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta tanggung jawab (mas’uliyah). Oleh karena itu, accountability atau profesionalism haruslah mengandung budaya kerja yang mencerminkan adanya kompetensi, check and balance system, ukuran kinerja yang sesuai, serta infrastruktur yang memadai untuk mencapai tujuan.

Sikap konsisten (istiqomah) merupakan elemen pendukung dari 4 tuntunan etika bisnis Nabi Muhammad SAW. Istiqomah tercermin dari sikap optimis, tidak mudah menyerah, sabar, percaya diri, dan memiliki semangat belajar berkelanjutan. Jika diterjemahkan dalam bahasa konvensional, istiqomah merupakan sebuah knowledge management atau quality management yang mengedepankan proses pembelajaran yang berkesinambungan yang disertai perbaikan terus menerus.

Harus diakui, implementasi ’GCG’ masih sangat lemah. Ini terjadi pada hampir semua institusi syariah. Pemaknaan yang tidak benar dan tiadanya pemahaman yang tepat terhadap ekonomi syariah menjadi pemicu utama. Banyak pihak yang melihat label syariah semata-mata sebagai sebuah peluang pasar, bukan sebagai sebuah solusi perbaikan sistem. Fakta di lapangan menunjukkan kebanyakan SDM perbankan syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis pada institusi syariah. Tentu saja ini berpengaruh signifikan terhadap produktivitas dan profesionalisme SDM. Inilah yang menjadi tanggung jawab besar kita bersama, yaitu mencetak SDM yang mampu mengamalkan ekonomi syariah di semua lini. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengingkari bahwa sistem yang baik tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh SDM yang baik pula...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)