Reorientasi Target Bank Syariah (Harian Republika, 18 Juni 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari
Mahasiswa S3 Prodi Ekonomi Islam Unair dan Peneliti Centre for Islamic Economic and Business Resources Development (CIEBERD)

Untuk memacu pertumbuhan bank syariah, Bank Indonesia (BI) menargetkan pangsa aset bank syariah sebesar lima persen pada akhir 2008. Menjelang akhir semester I 2008, pangsa pasar bank syariah belum mampu melampaui setengah target tersebut.

Menyikapi hal tersebut, ke depan BI perlu melakukan muhasabah dan mereorientasi target. Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah sudah disahkan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa penyesuaian harus segera dilakukan BI terhadap sejumlah peraturannya agar bisa kompatibel dengan UU tersebut.

Diperkirakan ada sekitar 26 peraturan BI (PBI) yang harus disesuaikan dengan Rancangan UU (RUU) Perbankan Syariah. Berkenaan dengan itu, fokus BI tampaknya akan banyak diserap oleh sejumlah pekerjaan guna merevisi PBI.

Ada lima ketentuan yang ada di RUU Perbankan Syariah yang belum diatur dalam PBI. Karenanya, jika target pangsa pasar bank syariah lima persen tidak tercapai tahun ini, hal tersebut boleh jadi harus dimaklumi. Meski demikian, hikmah terbesar dari keadaan ini adalah hadirnya kesempatan bagi BI untuk muhasabah dan mereorientasi target bank syariah.

BI dan target
Tahun 2008 memang merupakan tahun terakhir dalam fase memperkuat struktur industri perbankan syariah, sekaligus tahun awal dalam fase memenuhi standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional. Fase-fase tersebut merupakan rangkaian implementasi dan prioritas inisiatif-inisiatif strategis dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah di Indonesia 2002-2011.

Untuk 2008, BI meyakini industri bank syariah masih menikmati periode high growth. Oleh karena itu, BI mematok pangsa aset lima persen sebagai direction dan anchor bagi industri perbankan syariah. Dalam program akselerasinya tahun ini, BI menerbitkan sejumlah kebijakan lanjutan. Dengan berbagai kebijakan tersebut, BI memproyeksikan pertumbuhan aset, dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan selama 2008 mampu mencapai masing-masing sebesar Rp 91,6 triliun, Rp 73,3 triliun, dan Rp 68,9 triliun.

Lebih jauh, angka-angka yang dipatok BI memang bukanlah sesuatu yang mustahil meskipun sebenarnya cukup sulit dicapai. Meski demikian, yang perlu digarisbawahi dari berbagai target tersebut adalah mewaspadai efek samping dari target tersebut. Ini mengingat sejumlah kelemahan fundamental dalam pengembangan perbankan syariah, utamanya dalam penyediaan sumber daya insani (SDI) masih belum teratasi. Celakanya, target-target yang ditetapkan BI berpotensi menjadi pemicu api dalam sekam.

Reorientasi target
Memasyarakatkan syariah adalah langkah logis yang harus dilakukan untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ada. Untuk itu, edukasi merupakan keniscayaan. Perlu kerja keras agar banyak pihak memahami konsep ekonomi dan perbankan serta konsep syariah secara simultan dan terintegrasi.

BI selaku otoritas sangat berkepentingan untuk memasyarakatkan ekonomi syariah secara eksternal maupun internal. Tanpa disadari, beberapa pihak memandang perbankan syariah sekadar lembaga bisnis komersial.

Akibatnya, value yang dibawa perbankan syariah terlupakan dan sekadar menjadi hiasan. Ini tecermin dari target yang dipatok BI cenderung bersahabat dengan hal-hal komersial. Tuntutan atas materi lebih dikedepankan daripada nilai-nilai moral yang diusung bank syariah. Karena itu, penting dalam hal ini bagi BI mereorientasi target bank syariah. Capaian keberhasilan harusnya mengedepankan pencapaian dalam mengusung nilai-nilai syariah.

Harus diakui, pengetahuan dan pemahaman SDI yang kurang memadai atas label syariah yang diusung institusinya kerap menimbulkan sejumlah penyimpangan dalam operasional bank syariah. Banyak bank bernapaskan syariah, tetapi masyarakat di dalamnya masih belum mampu memaknai konsep syariah. Padahal, konsep God Corporate Governance (GCG) seharusnya menjadi senyawa yang meleburkan sikap jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), pandai dan cerdas (fathonah), serta selalu konsisten (istiqomah) dalam nilai-nilai yang dibawa bank syariah.

Ketidakhati-hatian untuk mengejar target otoritas dapat menjadi mesin penghancur bisnis perusahaan. Yang paling menakutkan, label syariah sekadar menjadi alat untuk mengeduk keuntungan dan kepentingan. Dengan demikian, dalam program akselerasi bank syariah yang harus dikejar bukanlah target-target materi.

Capaian edukasi dalam upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas SDI serta tercapainya tingkat pemahaman menjadi parameter utama. Masyarakat sekaligus pelaku bank syariah perlu diberi edukasi yang tidak hanya mengandalkan aspek religius atau aspek ekonomis semata.

Perlu adanya pendekatan yang objektif, rasional, dan berwawasan ilmiah agar masyarakat terbuka dan dapat berpikir cerdas dan arif. Dalam hal ini, program akselerasi memang dibutuhkan, tapi bukan sebagai karbit ataupun pemanfaatan momen semata untuk mengejar pasar.

Nilai-nilai moralitas GCG seharusnya menjadi diferensiasi dan keunggulan bagi bank syariah untuk masuk pada pasar yang begitu besar. Inilah fondasi kuat bagi bank syariah untuk tumbuh secara alamiah dan tidak perlu dibiakkan dengan target-target komersial, yang justru berpotensi mendegradasi nilai-nilai syariah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)