Privatisasi dalam Perspektif Islam (Interaktif Ekonomi Syariah - Harian Duta Masyarakat, 11 Juni 2008)
Oleh: Khairunnisa Musari
Pertanyaan: Assalamu’alaikum Mbak Nisa, saya seorang pengajar di perguruan tinggi swasta di Yogya. Dua bulan terakhir ini, media kembali dihangatkan dengan topik privatisasi. Kalau dulu kita banyak mendengar polemik terkait privatisasi Pelindo, Indosat, dan Telkom, kini yang lagi menjadi perdebatan adalah Krakatau Steel. Saya pribadi, tidak setuju dengan privatisasi karena pihak asing semakin mendominasi penguasaan aset-aset bangsa kita. Saya ingin tahu, bagaimana privatisasi dalam perspektif Islam? (M. Idris Purwanto, 081-2270xxxx)
Jawaban: Wa’alaikumsalam wR. wB, Pak Idris. Tampaknya Bapak punya atensi lebih terhadap perkembangan kebijakan privatisasi di Indonesia. Memang kebijakan privatisasi kerap menimbulkan perdebatan di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Melalui telaah ekonomi konvensional, privatisasi sebenarnya dipayungi legitimasi sebagai metode untuk mengembangkan kinerja organisasi. Privatisasi diharapkan mampu menjadi motor pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara. Melalui teori property rights, masalah insentif, hubungan principal-agent, dan kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), lahirlah teori privatisasi.
Jawaban: Wa’alaikumsalam wR. wB, Pak Idris. Tampaknya Bapak punya atensi lebih terhadap perkembangan kebijakan privatisasi di Indonesia. Memang kebijakan privatisasi kerap menimbulkan perdebatan di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Melalui telaah ekonomi konvensional, privatisasi sebenarnya dipayungi legitimasi sebagai metode untuk mengembangkan kinerja organisasi. Privatisasi diharapkan mampu menjadi motor pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara. Melalui teori property rights, masalah insentif, hubungan principal-agent, dan kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), lahirlah teori privatisasi.
Oleh Susan George dalam Republik Pasar Bebas (2006), privatisasi disebutkan sebagai wujud neoliberalisme yang lahir dari kebijakan Inggris-Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Margareth Thatcher-Ronald Reagen pada 1980-an. Pemikiran ini di cetuskan oleh Milton Friedman, penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagen, dan Frederick High, penasihat ekonomi Perdana Menteri (PM) Inggris Margaret Thatcher. Friedman adalah murid Friederich von Hayek dari Universitas Chicago yang merupakan embrio neoliberalisme. Sementara, von Hayek sendiri adalah guru dari Thatcher.
Dalam perkembangannya, kebijakan privatisasi kemudian mengglobal seiring dengan meningkatnya liberalisasi yang diusung kaum neoliberal. Privatisasi adalah keberhasilan paham neoliberalisme dalam membuka kran kesempatan investasi untuk investor asing. Institut Adam Smith di Inggris menjadi rekan intelektual dalam penciptaan ideologi tersebut. Lembaga keuangan dan moneter dunia pun menjadi mitra strategis dalam menyebarkannya. Ideologi ini mengubah banyak status kepemilikan pabrik, badan usaha, dan perusahaan di dunia, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu atau kepemilikan korporasi. Akibatnya, aset dan perekonomian negara banyak yang tersentralisasi pada segelintir individu atau korporasi tertentu.
John K. Galbraight dalam The Culture of Contentment (1992) menyatakan, privatisasi sarana-sarana sosial dan perusahan-perusahaan negara bertujuan untuk mengubah hubungan kepemilikan. Pada gilirannya, distribusi kekayaan dan kekuasaan akan memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar, dan kaum pemupuk rente ekonomi terhadap korban masyarakat bawah.
Indonesia dan privatisasi
Tidak sedikit yang melihat Indonesia menjadi lebih liberal dibanding negara-negara penganut liberalisme. Disaat kebanyakan negara kian tergugah memproteksi sumber daya alam dan aset-aset nasionalnya, Indonesia tampaknya belum terjamah. Penghormatan yang luar biasa atas nama globalisasi dan pasar-bebas membuat bangsa ini cenderung bersahabat dengan liberalisasi.
Harus diakui, kebijakan privatisasi kerap menimbulkan kontroversi didalamnya. Jelas, privatisasi tidak bisa lepas dari politisasi. Iming-iming jaminan transfer teknologi, kualitas manajemen, peningkatan modal, dan perluasan pangsa selalu menjadi argumen dalam setiap implementasi privatisasi. Padahal, jika melihat rekam jejak privatisasi aset-aset nasional dan di banyak negara, kita bisa melihat adanya konflik yang muncul pascaprivatisasi. Ketika aset-aset kita banyak dikuasai asing, maka pihak asinglah yang menyetir roda ekonomi sesuai kepentingan dan kebutuhan. Tidak bisa dipungkiri, orientasi keuntungan masih menjadi prioritas utama bagi investor asing dalam ekspansi bisnisnya. Padahal, dalam hal-hal tertentu, kita membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk mengurangi margin keuntungan demi pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Privatisasi dalam Islam
Dalam ekonomi Islam, persoalan privatisasi terkait erat dengan kepemilikan. Kepemilikan merupakan topik yang bercabang-cabang dan panjang. Hal ini menjadi penting dibicarakan mengingat hubungan-hubungan kepemilikan pada umumnya menentukan garis-garis besar sebuah sistem ekonomi.
Dalam Islam, segala sesuatu di jagad raya ini adalah kepunyaan Allah SWT. Allah adalah pemilik sesungguhnya dan manusia adalah khalifah-Nya yang diberi tanggung jawab untuk mengelola seluruh milik-Nya. Untuk itu, Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi maupun kepemilikan umum. Dengan adanya kepemilikan itu, manusia diberi amanah untuk memanfaatkannya guna memenuhi falah di dunia dan akherat.
Untuk kepemilikan umum, hal tersebut tidak berarti mutlak menjadi milik negara. Negara hanya berkewajiban untuk mengelola dan mendistribusikannya secara adil pada seluruh warga. Ada beberapa hal yang menjadi fondasi dalam kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan, dan api.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Air, padang gembalaan, dan api (sumber-sumber energi) dimasukkan dalam kepemilikan umum karena merupakan kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya. Dari sejumlah hadits, di-istimbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik itu termasuk dalam 3 jenis barang di atas maupun yang lain yang tidak termasuk di atas.
Untuk barang-barang yang dilihat dari wujudnya tidak mungkin dimiliki oleh individu, seperti laut, sungai, udara, angin, dan sebagainya, juga termasuk dalam kelompok kepemilikan umum.
Selain itu, fiqih ekonomi Islam menunjukkan bahwa tambang yang berkapasitas produksi besar juga merupakan kepemilikan umum. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal yang pernah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta diberi tambang garam. Rasulullah pun memberinya. Ketika Abyadl pergi, seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir.” Mengetahui itu, Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut.
Dalam fiqih ekonomi Umar bin Khatab, tidak dibenarkan bila memberikan kekayaan tambang kepada individu. Sebab, hal itu diyakini akan membawa kemudharatan. Jika dikaitkan dengan kekinian, kebutuhan akan sumber daya tambang sangat tinggi dan menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Untuk sumber daya yang tak bisa diperbaharui dan berpotensi akan terjadi kelangkaan pada suatu saat nanti, maka dituntut pemanfaatan kekayaan yang memperhatikan hak-hak generasi berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk menangani pengeksplorasian barang tambang dan mendistribusikannya secara adil pada seluruh rakyat. Hal ini tidak berarti bahwa negara harus melakukan eksplorasi sendiri, pemerintah dimungkinkan untuk melakukan kontrak kerja dengan pihak tertentu sesuai dengan pola produksi yang dibenarkan dan merealisasikan keadilan dalam pendistribusian.
Nah, pola produksi yang dibenarkan dan realisasi yang berkeadilan dalam distribusinya inilah yang dalam setiap implementasi kerap terjadi penyimpangan. Pengalaman menunjukkan, privatisasi dalam ekonomi modern saat ini telah menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang tertentu (baca: pemilik modal) saja, baik perorangan maupun korporasi. Akibatnya, distribusi kekayaan menjadi kian timpang. Hal ini tidak dibenarkan menurut Islam, sesuai firman Allah SWT dalam QS Al Hasyr : 7 “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Selain itu, pengamatan empirik menunjukkan privatisasi menyebabkan terjadi efisiensi besar-besaran dalam kacamata ekonomi konvensional yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan gaji pegawai, kenaikan harga produk jualannya, dan berbagai dampak ikutan lainnya yang meresahkan dan merugikan masyarakat.
Ini artinya, jika privatisasi berpotensi untuk menghalangi masyarakat untuk memperoleh hak mereka, maka privatisasi merupakan kezaliman yang merusak kehidupan rakyat. Jika demikian, segala sumber daya yang menjadi milik umum tidak boleh dimiliki secara pribadi atau korporasi guna menghindari kesulitan bagi masyarakat dalam mengaksesnya. Jika dalam mengelolanya memang membutuhkan pihak-pihak lain untuk bersinergi, maka negara harus bisa menjamin bahwa masyarakat tidak akan terhalangi dalam mengakses dan memanfaatkannya.
Baiklah Pak Idris, demikian dulu penjelasan saya. Semoga bermanfaat. Wassalam.
namun apa pandangan maqasid syariah akan hal ini?????
BalasHapus