Tidak Ada Yang Salah Dengan Subsidi BBM (Interaktif Ekonomi Syariah - Harian Duta Masyarakat, 28 Mei 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari
Pertanyaan: Sejak pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) 28,7 persen, demo terjadi dimana-mana. Di satu sisi, saya paham jika pemerintah harus menyelamatkan APBN. Namun, di sisi lain, saya merasa kenaikan harga BBM jelas memberi dampak buruk bagi masyarakat banyak. Yang ingin saya tanyakan, benarkan subsidi BBM itu membebani APBN? Bagaimana dalam perspektif Islam? Bagaimana ekonomi syariah mengatasi masalah ini?

Jawaban: Secara umum, subsidi dapat didefinisikan sebagai bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan pemerintah guna menjaga stabilitas harga, mengurangi beban rakyat atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan proteksi atau hambatan perdagangan dengan cara menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan jasa impor. Lebih jauh, subsidi dapat dikembangkan menjadi berbagai macam bentuk, tergantung pada alasan di balik pemberian, pihak penerima, dan sumber pembiayaan subsidi.

Benarkah subsidi BBM membebani APBN?

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), umumnya subsidi dikelompokkan dalam 2 jenis subsidi, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Dalam APBN 2008, subsidi energi dibagi menjadi subsidi BBM dan subsidi listrik. Untuk subsidi non-energi, dibagi ke dalam 8 jenis subsidi, yaitu: subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation (PSO), subsidi bunga kredit program, subsidi bahan baku kedelai, subsidi minyak goreng, dan subsidi pajak.

Porsi seluruh subsidi berkisar 32 persen dari total belanja pemerintah pusat dan subsidi energi mencapai sekitar 80 persen dari total belanja subsidi. Sedangkan subsidi BBM berkisar 68 persen dari total belanja subsidi energi. Namun, dari keseluruhan total belanja negara, belanja subsidi sekitar 22 persen. Porsi yang demikian inilah yang kerap dituding sebagai beban APBN. Jika belanja subsidi dikatakan terlampau besar dan menjadi beban negara, mungkin dalam konteks inilah akan banyak perbedaan pandangan maupun sikap.

Bagaimana subsidi dalam ekonomi syariah?
Subsidi dalam paradigma ekonomi di dunia bermacam-macam bentuknya. Yang jelas, subsidi lazim dikaitkan dengan peran negara dalam membijaki ekonominya. Sikap atau pandangan terhadap subsidi sangat bergantung pada paham apa yang dianut oleh negara. Bagi kaum Neoliberal, subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Menurut paham ini, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi.

Hegemoni neoliberalisme yang banyak dianut pengambil kebijakan negeri inilah yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah cenderung mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat. Argumennya, subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi, dan sebagainya. Hingga saat ini, kurikulum ekonomi yang dianut kebanyakan perguruan tinggi pun sebenarnya menggunakan paham mainstream tersebut. Makanya, banyak ekonom akademisi yang menyatakan bahwa subsidi secara konseptual adalah sebuah distorsi yang akan mendistorsi mekanisme pasar.

Ekonomi syariah berpegang teguh bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negaranya. Dengan demikian, subsidi menjadi sebuah kewajiban jika memang ada warga negara yang membutuhkan. Jika dilihat dari konteks ekonomi syariah, pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan uluran pemerintah. Jika dinyatakan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM adalah orang kaya, maka seharusnya pemerintah membuat mekanisme tertentu agar orang kaya tidak menikmati yang bukan haknya dan orang miskin menikmati haknya.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap sebagai salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara. Atas dasar itu, negara boleh memberikan subsidi kepada rakyat seperti yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia. Dari hukum asal boleh ini, pemberian subsidi bisa menjadi wajib hukumnya jika masih banyak ketimpangan terjadi. Dalam QS Al-Hasyr: 7, jelas dikatakan bahwa “...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian...”.

Dalam sejarah, Nabi Muhammad pernah membagikan fa‘i Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar. Hal ini disebabkan Nabi melihat adanya ketimpangan ekonomi antara kaum Muhajirin dan Anshar. Oleh karena itu, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Bagaimana ekonomi syariah mengatasi masalah ini?
Secara keseluruhan, ekonomi syariah memposisikan negara sebagai pemelihara rakyatnya, baik yang kaya maupun yang miskin. Yang muda ataupun yang tua. Yang sehat maupun yang cacat. Yang muslim juga nonmuslim. Semua harus dipelihara.

Diriwayatkan dari Abdullah r.a bahwa Rasululah bersabda: “Setiap kalian adalah penggembala (pemimpin). Maka ia bertanggungjawab terhadap penggembalaannya (kepemimpinannya). Karena itu, seorang amir (penguasa) yang memimpin masyarakat adalah penggembala...”.

Jika ditilik lebih jauh akar permasalahan keuangan Indonesia, itu semua berasal dari ketimpangan belanja dan pendapatan. Selama ini, pemerintah mengandalkan pinjaman atau hutang dari luar negeri. Sementara itu, akibat kesalahan kebijakan di masa lalu, pemerintah pun harus membayar utang dalam negeri yang ternyata 3 kali lipat daripada utang luar negeri.

Ekonomi normatif yang diajarkan Rasulullah dalam mengelola keuangan negara adalah berbelanja sesuai dengan pendapatan. Jikapun harus berhutang, Rasulullah melakukannya dalam jangka pendek dan tidak terus menerus. Dalam Islam, permasalahan hutang Indonesia menjadi menumpuk karena adanya unsur riba (bunga) yang membahayakan kemaslahatan negara dan masyarakat.

Terkait dengan persoalan subsidi, ketimpangan kesejahteraan jelas memberikan hukum wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mengulurkan bantuan melalui subsidi. Pemerintah harus membuat perencanaan dan mekanisme agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi. Untuk itu, pemerintah harus mampu memandirikan masyarakat. Selama masih ada rakyat yang tak mampu dan membutuhkan bantuan, maka pemerintah masih berkewajiban untuk menyantuninya.

Dalam mengelola keuangan negara, prioritas pembiayaan pada anggaran adalah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Penggunaan energi merupakan kebutuhan dasar kita. Dengan demikian, negara berkewajiban untuk membantu warga negara yang tidak mampu memenuhi dengan kemampuannya sendiri. Untuk seluruh pemimpin negeri ini, ingatlah pesan Rasulullah, “Seorang imam (pemerintah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya. Sungguh, Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga atau bahkan melalaikannya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)