SINDO NEWS OPINI (25 APRIL 2008)

Badai Minyak Dunia
Jum'at, 25/04/2008
Oleh:
M Ikhsan Modjo (Direktur Indef)
Khairunnisa Musari (Peneliti Insef)

Saat ini badai minyak tengah melanda dunia.Badai yang berawal dari krisis harga minyak global menjelma menjadi krisis ekonomi global. Mengapa terjadi, bagaimana dampaknya,dan apa yang harus dilakukan?
Kenaikan harga minyak dunia dipicu oleh persoalan struktural.Peningkatan permintaan tidak diimbangi peningkatan kemampuan pasok.Permintaan dunia dari tahun ke tahun meningkat rata-rata 1,5% atau sekitar 85 juta barel per hari. Pada 2008, permintaan meningkat 2% sehingga menjadi sekitar 87,7 juta barel per hari. Saat ini, China dan India menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi China tumbuh rata-rata 6,5% per tahun dan India rata-rata 5%. Impor China meningkat hampir 2 kali lipat dari sekitar 4 juta barel per hari pada 2002 menjadi sekitar 7,5 juta barel per hari pada 2007.

Dewasa ini, kemampuan pasok minyak dunia kian dihadapkan pada berbagai persoalan dan ketidakpastian. Menipisnya cadangan minyak bumi, tingginya risiko ketidakberhasilan eksplorasi ladang minyak baru dan ketidakmenentuan situasi politik di Timur Tengah yang kerap terjadi konflik menimbulkan kerentanan dalam jumlah pasokan.

Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) saat ini memproduksi minyak 31,2 juta barel per hari atau sekitar 36% dari total produksi minyak dunia. Meski sudah terjadi peningkatan, namun peningkatan lebih disebabkan oleh menurunnya stok dari negara-negara OPEC, bukan karena peningkatan produksi dari sumur sumur minyak yang ada. Hanya Irak, Angola, dan Arab Saudi yang mampu meningkatkan sedikit produksi.

Untuk negara-negara pemasok minyak non-OPEC, pelambatan peningkatan produksi juga terjadi, terutama dari negaranegara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada 2008, diperkirakan produksi negara-negara tersebut menurun dari sebesar rata-rata 19,83 juta barel per hari pada 2007 menjadi 19,51 juta barel pada 2008.

Dampak Ekonomi
Signifikansi sinyal turbulensi ekonomi global semakin kuat seiring makin kencangnya badai minyak dunia. Harga minyak merangkak naik hingga USD 118 per barel. Sejauh ini, pemerintah belum berniat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Penghematan pengeluaran anggaran serta penghematan penggunaan BBM dan listrik masih menjadi senjata pamungkas.

Meski demikian, terus melonjaknya harga minyak dunia pada saatnya akan mendesak pemerintah sehingga sulit mengelak dari opsi menaikkan harga BBM. Tingginya harga minyak akan mengerek tingkat inflasi ke atas. Pada gilirannya,inflasi akan menggerus pendapatan rumah tangga dan profit margin dunia usaha.

Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi USD95 per barel pada saat bersamaan akan meningkatkan pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan ini akan meningkatkan pendapatan production sharing minyak, pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) gas serta pendapatan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas bumi (migas).

Dari sisi belanja, peningkatan harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah daerah (pemda). Bagi industri nasional, kenaikan harga minyak dunia dipastikan akan memukul langsung. Biaya produksi perusahaan yang bergerak di sektor industri otomatis meningkat. Pada gilirannya ini akan meningkatkan biaya komponen lain. Ringkasnya, pengikutsertaan kenaikan biaya ikutan mengakibatkan dampak yang lebih besar pada tingkat harga dan output industri nasional. Bila benar terjadi,ini akan mempercepat proses deindustrialisasi.
Kenaikan harga minyak juga berdampak pada tergerusnya pendapatan riil rumah tangga. Dampak ini belum terlalu dirasakan mengingat masih adanya subsidi BBM dan adanya lag antara kenaikan ongkos produksi dengan harga di tingkat eceran. Namun, seiring merangkaknya harga ke depan, hal ini akan sepenuhnya dirasakan oleh rumah tangga Indonesia.
Akibat lonjakan harga di tingkat industri dan rumah tangga, suku bunga akan tertekan ke atas. Hal ini akan mengakibatkan pelambatan pertumbuhan kredit, tertekannya tingkat investasi dan melonjaknya non-performing loan (NPL) perbankan. Peningkatan bunga juga semakin mengikis pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya bunga kredit. Beban fiskal pemerintah pun akan meningkat akibat membengkaknya biaya cicilan utang.

Langkah Penting
Untuk mengatasinya, pemerintah perlumembuka ruang fiskal. Langkah terpenting adalah pemberian ruang bagi penyesuaian dunia usaha dan sektor industri. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat kelembagaan pasar dan memberantas kekakuan-kekakuan yang ada pada pasar.
Reformasi ketenagakerjaan juga perlu dilakukan. Kekakuan penyesuaian ongkos produksi mengakibatkan tertekannya output, tingginya ongkos produksi, dan meningkatnya harga. Ketenagakerjaan merupakan salah satu sumber kekakuan akibat penetapan tingkat upah minimum yang birokratis, berbelit-belit, dan kerap bercampur aduk dengan pertimbangan politik. Tingkat upah sering tidak merefleksikan produktivitas dan kebutuhan dunia usaha dalam menyerap kenaikan ongkos produksi.
Reformasi kelembagaan pasar juga menjadi keharusan. Struktur pasar yang monopolistik kerap menyebabkan tingkat harga komoditas meningkat tidak proporsional. Akibatnya, lonjakan indeks harga konsumen menjadi hal yang tidak terelakkan. Pemberian insentif bagi industri yang menggunakan sumber energi alternatif perlu segera dipikirkan. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai sumber energi alternatif.

Meningkatkan lifting merupakan opsi yang terbaik. Dari hasil simulasi, dengan asumsi peningkatan shock lifting 10.000–50.000 barel,peningkatan lifting 50.000 barel per hari merupakan opsi terbaik. Defisit bisa ditekan sampai 0.03. Dengan asumsi total belanja Rp 641 triliun, pemerintah dapat menghemat Rp 20 triliun. Ke depan, keharusan menjaga tingkat lifting sesuai asumsi yang ditetapkan merupakan pertaruhan yang harus dimenangkan pemerintah untuk mengamankan sisi fiskal perekonomian nasional.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)