SINDO Nasional (15 April 2008)

UU ITE Tak Sekadar Blokir Pornografi

Oleh: Naurah Najwa Hairrudin (Mantan Jurnalis, Sedang Menempuh Program Doktor di Universitas Airlangga)

Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan tanpa ingar-bingar. Semula, banyak pihak memandang positif kehadiran UU ITE karena tujuannya mulia, melindungi moral bangsa. Namun dalam perkembangannya, banyak pihak mulai berpolemik terkait ekses negatif dari UU tersebut, terutama bagi dunia pers. Bagaimana menyikapinya?
UU ITE adalah cyber law pertama di Indonesia.Semula, sebagian besar masyarakat memiliki persepsi bahwa UU tersebut sebatas untuk memblokir situs porno. Setelah proses sosialisasi berjalan, barulah dipahami bahwa UU tersebut memiliki substansi yang melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik.

Sebagai payung hukum dunia maya pertama,cukup dipahami jika UU ITE menimbulkan polemik. Perdebatan mengemuka di sejumlah kalangan, termasuk di kalangan pers.Bagi dunia pers,UU ITE dipandang sebagai sinyal menguatnya peran pemerintah dalam melakukan kendali kebebasan pers. Tidak salah jika UU tersebut dinilai sebagai lampu kuning bagi para jurnalis untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pemberitaan. Hadirnya UU ITE menyebabkan dunia pers, terutama pers online, menjadi terikat. Sebab, UU tersebut secara khusus mengatur penyampaian informasi secara elektronik melalui internet dan tidak memandang apakah yang menyampaikan informasi tersebut pers atau bukan.
Ada dua pasal UU ITE yang menjadi sorotan dan dipandang mengancam pers, yaitu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1. Pasal 27 ayat 3 mengatur larangan bagi seseorang untuk menyebarkan informasi yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Bagi yang tak mengindahkan,akan diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar seperti diatur dalam Pasal 45 ayat 1. Ancaman pidana itu bukan untuk korporasi seperti yang diatur UU Pers, tetapi untuk perorangan. Jalan untuk memidanakan pers pun bisa langsung, tak perlu harus melewati prosedur hak jawab, somasi, atau mengadu ke Dewan Pers.

Inilah poin-poin yang dipandang dapat melemahkan pers dalam melaksanakan profesinya. Tidak hanya para pekerja pers, para pemilik perusahaan pers pun dirundung kekhawatiran. Bahkan Dewan Pers yang merupakan lembaga ombudsman bagi pihak-pihak yang dirugikan pemberitaan pers pun demikian. Tidak dilibatkannya Dewan Pers ataupun pihak-pihak yang merepresentasikan insan pers, membuat UU tersebut menjadi sorotan dan menimbulkan kontroversi.

Pembelajaran bagi semua
Setuju atau tidak setuju, menyikapi UU ITE memang harus dengan kelapangan hati, demi kepentingan bangsa ini dan bukan kepentingan orang per orang atau kelompok-kelompok tertentu. Di balik sejumlah kekurangan UU ITE, patutlah niat baik tersebut didukung. UU ini merupakan upaya pemerintah melaksanakan tata kelola teknologi yang baik sekaligus langkah penyelamatan moralitas anak negeri ini.Pendidikan di rumah tidak sepenuhnya cukup untuk membentengi anak-anak dari pengaruh lingkungan.

Makin beragamnya produk teknologi dan kemudahan untuk mendapatkannya kerap disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak membawa manfaat, bahkan berpotensi merusak perilaku. Harus disadari, sebuah kebijakan tidak akan pernah lepas dari sisi positif-negatif, yang pada praktiknya kerap mengundang pro-kontra. Dalam hal ini, yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan niat dan tujuan yang baik dengan cara yang baik.

Dalam konteks UU ITE, niat dan tujuan yang pada awalnya dinilai baik,ternyata menjadi polemik lantaran dalam proses perumusannya tidak melibatkan sejumlah pihak terkait yang akan melaksanakan produk hukum. Inilah yang menyebabkan produk hukum tersebut dipandang tidak akomodatif dan bukannya memberikan solusi,tapi malah menimbulkan persoalan,bahkan mengancam pihak-pihak tertentu yang seharusnya dilindungi.

Ke depan, dalam menyusun kebijakan, pemerintah perlu mengajak pihak-pihak terkait untuk duduk dan bicara bersama. Hal ini untuk mengakomodasi aspirasi sekaligus mengeliminasi dampak negatif yang berpotensi muncul. Pemerintah pun diharapkan menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menghasilkan kebijakan. Transparansi dapat menghindarkan pemerintah dari mosi tidak percaya dan tudingan adanya kepentingan pemilik modal di balik produk yang dihasilkannya. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan dengan segera peraturan pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaan UU tersebut.

Sosialisasi pun sebaiknya melibatkan berbagai kalangan agar pesan dari UU ITE tersampaikan pada semua elemen dengan persepsi yang sama. Pemerintah perlu pula segera menyusun standar, operasi, dan prosedur (SOP) guna menghindari penyalahgunaan UU tersebut. Perlu pembinaan yang intensif, baik pada pelaku bisnis, pelaku teknologi informasi, juga aparat, agar produk hukum ini tidak disalahgunakan bagi pihak-pihak yang mencari-cari kesalahan.

Terakhir, pemerintah perlu membuka diri untuk menerima masukan atas kelemahan-kelemahan yang ada pada UU ITE. Bagaimanapun, UU tersebut perlu terus disempurnakan. Perlu hati yang besar untuk berkenan menerima kritikan. Pemerintah memang berkewajiban mengatur hal-hal yang terkait dengan hajat masyarakat. Dunia pers pun memiliki tanggung jawab sosial untuk menyampaikan informasi yang benar pada masyarakat. Atas dasar itu, jika pemerintah berkenan duduk dan bicara bersama dengan insan pers, mungkin ketidaksamaan persepsi ataupun hal-hal yang dapat mengebiri hak dan kewajiban salah satu pihak akan dapat diselesaikan. Semoga masih ada jalan untuk menyelesaikannya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)