MERENUNGI KASUS BI (Sindo Edisi Sore, Opini Sore, 19 Februari 2008)


Oleh: Khairunnisa Musari 

“....Saya seperti pelanduk yang berada di tengah-tengah gajah bertarung. Saya tidak tahu siapa gajahnya. Saya hanya berharap si pelanduk tidak mati. Saya pasrah menanti usainya pertarungan. Semua terasa seperti mimpi....”

Demikian ungkapan tersangka kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) yang ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 14 Februari lalu. Saya memahami kegundahan, kesedihan, dan kekecewaan yang dirasakannya. Komitmen untuk menjaga profesionalitas ternyata berbuah duka. Terungkap sedihnya saat mengharap dukungan, tapi hampir semua mengangkat tangan. Semua menghindar. Kawan, bagai tak kenal. Yang diteladani bergeming, tak ingin diusik. Banyak yang ingkar. Saya tahu, dia ingin berteriak, “Mengapa saya diperlakukan seperti ini? Mengapa harus saya yang mempertanggungjawabkan semua ini?”

Banyak yang bisa direnungi dari kasus BI ini. Betapa pada gagahnya sebuah lembaga negara, ada sisi rentannya. Betapa terlihat besar independensi yang melekat, ternyata “tidak independen”. Betapa harapan atas moral wakil rakyat, ternyata melukai. Betapa banyak orang bermuka dua. Betapa mudah kawan dan lawan berubah posisi. Betapa mahal harga kebenaran dan keadilan. Betapa banyak kepentingan mempermainkan nasib. Betapa ketulusan menjadi barang langka.

Bagi pencari kerja, BI identik dengan tempat yang sarat kesejahteraan. Tidak bisa dimungkiri, banyak yang “memburu” BI untuk alasan materi. Bagi beberapa jurnalis dan akademisi, BI sarat dengan orang-orang pintar yang tahu banyak masalah ekonomi, keuangan, dan perbankan, namun cenderung berpihak pada kapitalis. Bagi politikus, BI memiliki posisi strategis sehingga sarat muatan politik.

Integritas
Secara kelembagaan, semua mengakui BI memiliki sistem yang kuat dan baik. Lembaga ini juga didukung personel yang kompeten. BI dikenal sebagai pionir knowledge management dan pernah memperoleh penghargaan. BI juga sudah membangun budaya dengan nilai-nilai strategis. BI berhasil mengusung citra lembaga negara berintegritas.

Integritas adalah kata yang kerap disampaikan jajaran BI, mulai dari petinggi hingga staf, untuk menunjukkan sikap dan karakter BI. Kini, integritas itu diragukan. Ada yang tidak benar dan tidak pantas atas sejumlah kebijakan internal dan eksternal BI. Betapa banyak uang yang dialirkan untuk kepentingan pribadi dan institusi. Ini menimbulkan ketidakadilan di mata rakyat. Padahal, dari sisi kesejahteraan, pegawai BI sudah sangat berlimpah dibanding pegawai lembaga negara lain. Selain gaji pokok, sejumlah tunjangan dan fasilitas membuat banyak pihak “cemburu”.

Ada ketidakadilan
Jika dicapai dengan cara-cara yang kurang baik, niat baik akan berbuah ketidakbaikan. Keinginan untuk menjaga independensi dan martabat BI ternyata berbuah “penjara” bagi 2 tersangkanya. Padahal, mereka hanya pelaksana semata. Ini bukan berarti pembelaan, namun terasa ada ketidakadilan serta kejanggalan atas kasus ini. Oey Hoei Tiong dan Rusli Simanjuntak memang menjadi kunci dari semua cerita. Mereka berdua bisa membuka tabir pihak-pihak yang terkait. Setelah berbulan-bulan dimintai keterangan, seharusnya KPK mampu membaca siapa think tank dan oknum-oknum di balik kasus ini. Mungkin benar, banyak gesekan kepentingan yang membatasi serta mengarahkan semua kejadian. Atau mungkin memang sulit mengumpulkan alat bukti. Yang jelas, jika memang terjadi pelanggaran hukum, seharusnya bukan 3 orang saja yang menjadi tersangka, apalagi sampai masuk tahanan. Inilah pekerjaan rumah bagi KPK.

Sebuah perenungan
Budaya suap memang menggurita di seluruh aspek dan lini kehidupan. Praktek suap muncul dalam lingkar interaksi dan transaksi. Kita sering tidak mampu mengelak karena situasi mendesak dan memaksa, demi memperoleh hak atau memperlancar urusan. Di Indonesia, kita tidak bisa menutup telinga tentang isu wakil rakyat dan penegak hukum yang harus “dibiayai”. Adanya kepentingan BI untuk “menyelamatkan” institusi menjadi benang merah kasus ini. Adanya permintaan memunculkan penawaran. Itulah penjelasan banyak pihak atas kasus BI. Ditambah dengan banyak kepentingan, jadilah sebuah kisah tragis yang menjadi noktah bagi BI.

Dalam perspektif syariah, praktik suap sangat dikecam. Banyak kezaliman, ketidakadilan, dan mudarat bagi kehidupan. Terapi Islam bertumpu pada peningkatan keimanan, penempaan nilai-nilai moral, serta saling mengingatkan. Jika dijalankan, manusia akan mencari rezeki yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Sebab, bekerja adalah ibadah, kemuliaan, kepercayaan, dan kehormatan.

Pertarungan belum selesai
Sudah hampir sepekan, 2 dari 3 tersangka kasus BI ditahan. Firasat si Bapak benar. Pertarungan belum selesai. Semua kini meributkan calon Gubernur BI. Semoga tidak ada yang melupakan nasib Bapak berdua. Tidak penting siapa yang menjadi gajah. Yang penting, bertarunglah dengan ksatria, niat untuk kebaikan, dan tidak menjadi pecundang. Terakhir, saya mengirim doa. Semoga didengar-Nya dan menjadi penguat bagi Bapak. Tegarlah Pak menghadapi apapun yang terjadi. Kita hanya manusia yang tunduk pada kehendak-Nya. Allah pasti mencatat orang-orang yang bermuka dua, suka menjilat, dan berbuat zalim. Jika yang Bapak lakukan adalah sebuah kesalahan, dan jika memang Bapak harus berhadapan dengan pengadilan manusia, mudah-mudahan cukup ini sebagai penebus dosa. Semoga Allah memberi kemuliaan dan meningkatkan derajat Bapak atas kesabaran menerima ujian-Nya. Amien. (*)

Komentar

  1. Mudah-mudahan akhir dari kasus aliran dana BI ini spt kisah film A Few Good Men. Si Prajurit yg melaksanakan perintah "Red Code" dibebaskan dari sanksi pidana, namun tetap dipecat sbg prajurit (marinir). Krn bagaimanapun mrk sadar bahwa perintah "Red Code" tsb adalah perintah salah namun mrk tetap melaksanakan. Dan, akhirnya, Komandan yg memerintahkan lah yg diajukan ke pengadilan dan diputuskan salah.

    Semoga.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)