Ketahanan Pangan dan Ancaman Resesi 2008

(Konferensi Pers INSEF, RM Nur Pasific Surabaya, 28 Januari 2008)

I.KETAHANAN PANGAN

1.1 Gambaran Umum

Ketahanan pangan adalah isu krusial yang harus dikelola dengan baik agar tidak menuai krisis sosial sebagai ikutan kesalahan dalam mengurus perut masyarakat. Indonesia dengan membawa nama besar sebagai negara agraris yang jumlah terbesar penduduknya bekerja di sektor pertanian, ternyata memunculkan ironi ekonomi pangan yang cukup memprihatinkan.

Kelangkaan sejumlah bahan pangan utama saat ini, merupakan sinyal bahwa masalah komoditas pertanian yang menyangkut hajat hidup orang akan menimbulkan dampak serius pada perekonomian nasional. Lihat saja, gejolak inflasi pangan yang semakin meningkat. Padahal, kebanyakan masyarakat miskin masih mengkonsumsi 75% pengeluarannya untuk bahan pangan. Itulah sebabnya, tak heran jika program pengentasan kemiskinan tidak kunjung berhasil. Ini adalah sebuah anomalis yang harus cepat dicarikan solusi.

Sebagaimana diketahui, pemerintah memprediksi bahwa krisis pangan berpeluang terjadi pada 2017. Untuk mengantisipasi, Departemen Pertanian (Deptan) pada 2007 membuka lahan persawahan baru seluas 20.000 ha, terutama di luar Pulau Jawa. Pada 2008, direncanakan akan ada penambahan seluas 50.000 ha. Namun demikian, mengingat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,3-1,5%, tetap saja kemampuan Indonesia dikhawatirkan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan 10 tahun mendatang. Saat ini saja, Indonesia secara perlahan sudah mulai mengalami krisis pangan.

Bagi Indonesia, kompleksitas ketersediaan pangan tidak dapat dipandang sebelah mata. Fenomena krisis pangan yang saat ini terjadi, menggugah banyak pihak. Potensi konflik ketidakadilan sumber daya dapat memicu krisis sosial. Terlebih, banyak sekali masalah komoditas pertanian yang dengan mudah masuk ke dalam ranah ekonomi politik. Krisis pangan dengan segala ikutannya, menandaskan bahwa ekonomi pangan Indonesia membutuhkan kebijakan campur tangan pemerintah. Sebab, eksistensi ketahanan pangan baru terjadi ketika semua penduduk pada suatu waktu mempunyai akses fisik dan ekonomi untuk mendapatkan kecukupan minimum pangan sebagai syarat kebutuhan dalam aktivitas produksi (ekonomi) dan hidup layak.

1.2 Mengapa Terjadi Krisis Pangan?

Sejak satu dasawarsa terakhir ini, pembangunan sektor pertanian di Indonesia macet. Tidak ada pemihakan yang memadai terhadap sektor pertanian sehingga pelaku ekonomi di sektor hulu (baca: petani) tidak memiliki insentif untuk melakukan kegiatan di sektor ini. Akibatnya, sebagian besar komoditas pertanian penting, seperti beras, gula, jagung, kedelai, dan lain-lain sangat tergantung dari impor.

Pembusukan sektor pertanian tersebut semakin nyata ketika krisis ekonomi mengguncang Indonesia pada 1997/1998 yang berujung kepada penandatanganan LoI (letter of intent) antara IMF dan Pemerintah Indonesia, di mana di dalam kesepakatan itu dinyatakan secara eksplisit pemerintah harus mengurangi dan meniadakan proteksi terhadap sektor pertanian. Dalam jangka pendek, kebijakan itu memang menguntungkan (khususnya konsumen) karena harga komoditas menjadi rendah. Tetapi dalam jangka panjang kebijakan itu sungguh memilukan karena membuat insentif petani untuk menanam komoditas pertanian menjadi lenyap. Akibatnya, Indonesia menjadi sangat tergantung dari produk impor.

Pada saat harga komoditas pertanian di pasar internasional meningkat drastis, sementara di sisi lain Indonesia sudah sangat tergantung dari impor (misalnya kedelai 60% kebutuhan domestik dicukupi dari impor dan gula sekitar 50%), maka yang terjadi harga komoditas pertanian di pasar domestik juga terkerek tanpa bisa dikendalikan. Inilah yang membuat secara keseluruhan ketahanan pangan Indonesia menjadi sangat rapuh.

Secara domestik, pemburukan sektor pertanian itu juga dipicu oleh kegagalan pemerintah merumuskan perubahan kelembagaan yang baik sehingga justru disinsentif bagi petani. Perubahan kelembagaan yang buruk itu tidak lain dalam hal kepemilikan lahan/tanah, akses kredit, dan relasi kerja. Kepemilikan lahan petani semakin menciut karena pola warisan, tekanan pendapatan, dan penetrasi sektor industri/jasa. Sedangkan akses kredit justru kian sulit ketika lembaga keuangan formal masuk ke pedesaan. Hal ini disebabkan sektor keuangan itu mensyaratkan prosedur yang berat, salah satunya agunan, sehingga petani kecil sulit mengaksesnya. Sementara itu, relasi kerja di sektor pertanian tidak lagi meniscayakan adanya pembagian risiko (risk-sharing), semacam pola maro atau mertelu, untuk diganti menjadi sistem sewa sehingga merugikan petani penggarap/penyewa (land tenure).

Melalui dua pintu itulah (intervensi negara/lembaga asing dan kebijakan domestik yang salah) sektor pertanian di Indonesia menjadi terpuruk sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan menjadi goyah. Jika ini tidak ditangani sejak dini (sekarang juga), maka ketahanan pangan hanya akan menjadi retorika politik yang enak didengar tapi tidak elok dilihat.

Dari sisi eksternal, lemahnya pengelolaan dan kebijakan pangan di Indonesia juga ditangkap oleh FAO. Oleh FAO, Indonesia dimasukkan dalam daftar negara-negara krisis pangan yang membutuhkan bantuan dari luar. Indonesia bersanding dengan 36 negara lain, yang mayoritas berasal dari Afrika (20 negara), Asia (9 negara), Amerika Latin (6 negara), dan Eropa Timur (2 negara).

1.3 Rekomendasi Strategi bagi Pemerintah

Menyandarkan persoalan ketahanan pangan pada kebijakan pertanian semata, bukanlah suatu yang bijak. Ini tidak akan dapat memecahkan persoalan secara optimal. Masalah ketahanan pangan adalah masalah multisektoral. Pemerintah harus menjalankan hands on policy (kebijakan campur tangan) yang memadai dan menghadapkan masalah dalam bingkai lintas departemen dan sektoral. Adapun strategi-strategi yang INSEF rekomendasikan untuk diambil oleh pemerintah adalah:

1. Mengoreksi kebijakan liberalisasi di sektor pertanian
Koreksi dapat dilakukan dengan jalan memberikan proteksi yang memadai. Tanpa pola pemihakan yang jelas, perekonomian nasional hanya akan menjadi permainan liberalisasi yang didorong oleh negara-negara maju.

2. Mengubah paradigma pendorong kemajuan ekonomi
Pemerintah terlalu percaya bahwa kemajuan ekonomi hanya perlu disokong oleh sektor modern (industri/jasa). Cara pandang ini tentu saja menyesatkan dalam dua hal. Pertama, basis ekonomi domestik adalah sektor pertanian, sehingga pembangunan akan lebih efisien dan menyertakan masyarakat apabila bertumpu kepada sektor pertanian tersebut. Kedua, sektor pertanian yang kuat malah akan menjadi pemicu kemajuan sektor industri dan jasa (yang berbasis komoditas pertanian), karena telah tersedia input dengan harga yang murah.

3. Melakukan collective farming
Rata-rata kepemilikan lahan yang sempit di Pulau Jawa dapat diatasi dengan jalan collective farming. Jika tidak, maka lahan sempit tersebut dijual kepada petani yang lebih besar, yang selanjutnya di setiap desa atau kecamatan dibuat industri pengolahan komoditas pertanian. Petani yang lahannya telah dijual mendapatkan prioritas sebagai pekerja di industri tersebut.

4. Membangun infrastruktur pertanian
Pembangunan kembali secara massif infrastruktur pertanian, seperti jalan, irigasi, penyuluhan, pengadaan bibit/pupuk, sistem informasi, dan jaringan pemasaran yang sederhana sehingga dapat menjadi sumber kegairahan baru pelaku ekonomi (khususnya petani) untuk beraktivitas di sektor pertanian.

5. Memperbaiki tata kelola BULOG
Ketahanan pangan tidak hanya menyangkut ketersediaan pangan, namun juga terkait dengan keterjangkauan pangan oleh masyarakat luas, termasuk rumah tangga dan individu. Tidak bisa tidak, distribusi pangan yang ada harus mampu mencapai semua lapisan masyarakat. Di Indonesia, distribusi pangan nasional dipercayakan pada lembaga BULOG. Mekanisme yang diberlakukan adalah menjaga stabilitas harga beras dengan kebijakan harga dasar (floor price) dan harga tertinggi (ceiling price) dengan kombinasi buffer stock policy, disertai monopoli impor beras. BULOG dan kebijakan pangan nasional melalui OPM (Operasi Pasar Murni) dan juga OPK (Operasi Pasar Khusus) sebagai upaya stabilisasi pangan masyarakat belum tertata dengan baik. Hal ini tercermin dari seringnya ‘krisis kecil’ pasok pangan masyarakat. Kinerja BULOG harus diperbaiki agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, accountable, dan memenuhi good governance.

6. Memberi insentif bagi petani
Sangatlah logis jika petani saat ini berduyun-duyun pindah ke ‘lahan’ yang menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Sebab, rata-rata penguasaan lahan pertanian per KK petani semakin mengecil. Nilai Tukar Petani (NTP) sangat rendah dibanding Nilai Tukar Industri (NTI) atau lainnya. Denga demikian, kehidupan petani makin sulit dan motivasi makin menurun dalam berusaha tani. Negara harus turut campur dalam hal ini. Ketiadaan keberpihakan pemerintah terhadap masalah ini akan mengakibatkan kekurangan fatal dalam proses produksi partanian itu sendiri. Paling tidak, dalam pasokan tenaga kerja pertanian. Sementara, kebijakan pemerintah haruslah berdimensi jangka panjang, mengingat banyaknya frame kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang berdimensi jangka pendek hanya merupakan obat penenang petani. Tidak bisa menyembuhkan sakitnya. Tidak ada langkah kongkrit yang mengamankan. Kartel dan sindikasi pada produk penunjang pertanian tidak mampu dilawan oleh kebijakan pemerintah yang mematikannya. Lahan sebagai faktor produksi perlu dioptimalkan penggunaannya.

7. Melakukan reformasi agraria
Untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan, perlu adanya reformasi agraria sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Adapun poin ikutannya adalah perhatian pada kepastian kepemilikan lahan dan kontrol atas konversi lahan pertanian. Optimalisasi penggunaan lahan pertanian ke depan haruslah ditunjang dengan inovasi teknologi. Masalah post harvest harus mampu teratasi dengan mencari harga jual produk pertanian yang berpihak ke petani. Produksi pertanian seringkali dihadapkan pada sebuah realitas pengamanan untuk end consumers saja. Program reformasi agraria ini layak dikembangkan, khususnya pada wilayah di luar Pulau Jawa.

8. Memperkuat posisi tawar komoditas pangan di pasar internasional
Indonesia merupakan pasar pangan yang amat besar dan menjadi incaran negara-negara produsen pangan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat membahayakan kemandirian petani Indonesia. Kontrol asing khususnya pemilik modal yang bermain dalam kartel dan sindikasi global harus diwaspadai melalui kebijakan pemerintah yang afirmatif terhadap produk pertanian dalam negeri, melalui kendali harga. Mengingat, saat ini keterlibatan perusahan-perusahaan besar dalam sektor agro-ekspor sudah mencapai 80 %. Lobi terhadap FAO sebagai lembaga kontrol pangan dunia dalam kelembagaan PBB harus aktif dilakukan. Sebab, dukungan FAO terhadap negara-negara maju, seperti AS dan Eropa, dalam ekspor komoditas pertanian bukanlah langkah yang tepat. Harusnya FAO mendorong pertumbuhan produksi sektor pertanian di negara-negara kecil seperti Indonesia. Sehingga, jerat ketergantungan pangan terhadap pihak asing dapat dihindali dalam jangka panjang

9. Mewaspadai ancaman bencana alam melalui penataan ulang tata ruang
Masalah bencana alam dapat memicu krisis pangan. Bukan saja karena lahan menjadi rusak, melainkan juga sarana dan prasarana transportasi yang rusak akibat banjir juga akan membuat ketahan pangan terancam. Perlu penataan ulang tata ruang rawan bencana maupun pemetaan tingkat resiko bencana, terutama bagi daerah-daerah lumbung pangan nasional.

10. APBN Hijau
Untuk meningkatkan ketahanan pangan, tidak bisa tidak, pemerintah perlu berpihak untuk komit mengurangi krisisi pangan dengan kebijakan yang berorientasi jangka panjang. Basis anggaran pada isu lingkungan sebagai daya dukung sektor pertanian perlu diperkuat melalui APBN hijau. Sustainability livelihood paradigm harus selalu didengungkan dan mengakar di benak petani Indonesia yang ramah lingkungan dalam pengolahan pertanian.


II. ANCAMAN RESESI 2008

2.1 TURBULENSI GLOBAL dan KONDISI USA

Tahun 2007

• Pemicu krisis adalah perekonomian yang didorong konsumsi berlebihan.
• Konsumsi dibiayai dengan hutang, misal masyarakat berpendapatan rendah, sebagian pendapatannya diunakan untuk kredir rumah.
• Tahun 2004, Fed Fund Target Rate 1%, tapi melonjak hingga 5,25% pada 2006. Pada saat yang sama mulai terjadi inflasi, karena kenaikan harga komoditas.
• Akhirnya debitur pendpaatan rendah tak mampu lagi bayar cicilan kredit.
• Rumah debitur disita, dan terjadilan krisis Sub Prime Mortgage tahun 2007.
• Karena rumah disita, debitur kahirnya menyewa rumah. Akibatnya, belanja konsumsi mereka berkurang. Padahal, penggerak ekonomi USA adalah konsumsi. Dengan pembatasan konsumsi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi USA.
• Pendapatan korporasi juga kana berkurang yang dapat berakibat PHK, yang ujungnya adalah pengangguran.
• Semakin banyak PHK akan semakin memperlambat pertumbuhan konsumsi masyarakat dan ekonomi USA.
• Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi USA diperkirakan hanya 0,5% pada 2008.
• Dengan kondisi 2007 seperti itu, dalam pandangan sebagian besar pengamat dan investor, ekonomi akan mengalami resesi tahun 2008.

Januari 2008

• CITIBANK – Hapus Buku US$ 24 B
• MERRILL LYNCH – Hapus Buku US$22 B
• Investor Timur Tengah, China, dll yang menyuntikkan dana melihat perkembangan yang ada menjadi ragu. Keraguan ini mengakibatkan ketidakpercayaan.
• Ketidakpercayaan dilakukan dengan melakukan penjualan besar-besaran equity.
• Pasar saham di seluruh dunia berguncang.
• Terjadilah “ JANUARY CRASH”
• Hampir di seluruh bursa dunia turun sekitar 20% dalam sepekan.

Penyelamatan Sementara “January Crash 2008”

• Diluar dugaan, Gubernur The Fed menurunkan Fed Rate yang cukup besar dari 0,75% menjadi 3,5%
• Dalam teori konvensional (yang menggunakan instrumen bunga(, penurunan suku bungan tentu akan:
1. Menguatkan pasar modal (investasi)
2. Akan diikuti dengan pertumbuhan ekonomi
3. Akan diikuti dengan pengurangan pengangguran
4. Produsen akan meningkatkan produksi dan tingkat harga akan turun.

• Meski teorinya demikian, namun awalnya investor USA ragu saat kebijakan itu diumumkan. Ini ditandai dengan tidak naiknya harga saham pada saat diumumkan. Pasalnya, pada saat yang bersamaan, pasar Eropa mengalami penurunan yang cukup besar. DI smaping tidak begitu yakin bahwa ekonomi sepertinya tidak bisa digerakkan dengan cara menurunkan suku bunga.
• Namun, pasar di luar Eropa dan USA, khususnya Asia dan Australia, esok paginya berbalik arah positif yang luar biasa.
• Meski demikian, penurunan The Fed Rate ini hanyalah obat penenang sementara. Obat penyebuhnya adalah pengurangan beban utang masyarakat USA dengan mengerem konsumsinya.

• Secara umum, ekonomi USA pada sarnya kuat. Sebab, infrastrukturnya kuat. Hanya perlu efisiensi, di saat harga mayoritas komoditas naik.
• Sebagai catatan, negara yang berpenduduk besar di kawasan Asia yakni China, Indoa, dan Indonesia (termasuk Hongkong). Indeks harga sahamnya relatif mampu cepat kembali dan masih berada di posisi atas di banding kawasan lain. Ini mengindikasikan, ada keyakinan sebagian investor dan analis bahwa untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dunia sangat mungkin didorong konsumsi kawasan ini.
• Jadi, kawasan sekitar Chinan, India, Indonesia, sangat diharapkan menjadi kawasan yang mendorong pertumbuhan ekonomi global yang dipicu konsumsinya. Sekaligus, mampu membantu menyelamatkan pendapatan korporasi dunia dan menjadi obat resesi dunia.


2.2 EFEK DOMINO “JANUARY CRASH”

Pada Pasar Lokal

• Guncangan pasar uang, melemahnya pasar modal AS akibat ekspektasi resesi akan menyeret bursa Indonesia ke bawah. Seretan ini diakibatkan setidaknya dua hal: 1. Meningkatnya capital outflow; 2. Ekspektasi buram pada perusahaan lokal, terutama yang berorientasi ekspor.
• Meningkatnya capital outflow akan menekan kurs rupiah yang menambah dalam ancaman inflasi;
• Pelemahan ekonomi AS serta ekonomi di negara-negara lain yang menjadi partner dagang utama Indonesia (Jepang, UE dan Singapore) akan melemahkan ekspor Indonesia, terutama ekspor sektor manufaktur;
• Pelemahan ini juga akan meningkatkan impor dan dumping dari negara lain (seperti China dan Vietnam), yang akan mengalihkan produk ekspornya ke Indonesia;
• Guncangan ini pada gilirannya akan berakibat pada pengurangan investasi domestik;
• Investasi yang menurun menimbulkan ekspektasi pertumbuhan yang menurun,;
• Data historis menunjukan korelasi tinggi resesi AS dan ekonomi Indonesia (0,48);
• Pada saat yang sama, saat ini terdapat ancaman terhadap stabilitas makro, ie., inflasi, nilai tukar rupiah dan suku bunga, yang diakibatkan KERAWANAN PANGAN dan BENCANA ALAM ;
• Sehingga tidak berlebihan bila ke depan ada satu ancaman pelemahan ekonomi dan inflasi tinggi menganga, stagflasi, yang perlu dihadapi.
• China, India, dan Indonesia, sebagai pasar yang relatif cukup besar, kemungkinan kecil terkenda dampak. Kalau terkena dampak, korporasi global tidak mendapatkan pendapatan. Dampak lanjutannya akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan yang mendorong pengangguran dan memunculkan resesi.
• Dengan penurunan Fed Rate, sampai saat ini belum menunjukkan pasar modal global akan merosot.

Bukan resesi, tapi inflasi

• Yang terjadi sekarang adalah “RESESI KECIL”, sepanjang pasar finansial dapat dijinakkan dengan financial policy yang tepat.
• Yang dihadapi ekonomi dunia nampaknya bukanlah resesi besar, tetapi inflasi karena naiknya harga-harga komoditas dunia.
• Dalam Kuadran Ekonomi, USA bisa jadi berada di Kuadran II dan tidak ingin ke Kuadran III. Maka, kebijakan penurunan Fed Rate adalah usaha untuk melompat ke Kuadran IV.
• Indonesia saat ini nampaknya relatif masih di Kuadran IV. Namun, kalau terseret kekacauan finansial global, maka akan masuk ke Kuadran I atau II, bahkan Kuadran II yaitu RESESI.

2.3 REKOMENDASI SOLUSI KEBIJAKAN

Secara umum

• Mengerem laju permintaan atau konsumsi energi. Sebab, energi adalah pemicu umum kenaikan hampir semua harga komoditas.

Secara khusus

1. Menghadapi kondisi ini terdapat Impotensi kebijakan moneter;
2. Kebijakan moneter kontraktif akan bersifat anti inflasi, akan tetapi berpotensi mempercepat resesi;
3. Kebijakan moneter ekspansif, di sisi lain, bisa mengompensasi kejatuhan permintaan agregat, dus resesi, akan tetapi akan meningkatkan tekanan harga sehingga memperparah inflasi dan bahkan menyebabkan menghilangnya komoditi dari pasar, sehingga tidak feasible secara ekonomi, sosial dan politik;
4. Alternatif kebijakan lain berupa ekspansi fiskal juga tidak feasible untuk alasan sebagai berikut: Peningkatan defisit menyebabkan efek pendesakan keluar (crowding out effect), yang berakibat kurang lebih sama dengan kebijakan moneter kontraktif, ie., kenaikan suku bunga dan berkurangnya investasi; Sementara Pengurangan Subsidi secara umum tidak feasible secara politik dan berpotensi menyebabkan inflasi spiral pada perekonomian, akibat desakan arah dari sisi produksi dan konsumsi;
5. Solusi yang paling mungkin adalah percepatan pengeluaran anggara (fiscal disbursemen) dan pengalihan pengeluaran (switching fiscal): berupa pengalihan pengeluaran APBN dan pengalihan subsidi dari subsidi energi ke subsidi pagan serta dan kebijakan devisa;
6. Belanja modal pada APBN 2008 sebesar Rp 101 triliun, 18 persen dari total pengeluaran, perlu diperbesar. Sementara komponen belanja pegawai, sebesar Rp 129 triliun (23 persen dari pengeluaran) perlu direduksi.
7. Perlu ada pembesaran pos pengeluaran untuk program anti kemiskinan, kesehatan (0,04 persen – Rp 16,8 triliun) dan pendidikan perlu diperbesar. Sementara di saat yang sama perlu ada pengurangan pos pengeluaran pos pengeluaran Lembaga Eksekutif dan Legislatif Rp 89 triliun, perlu dipangkas.
8. Subsidi untuk energi di alihkan pada subsidi pangan. Pengecilan subsidi energi bukan melalui pemotongan subsidi. Tapi kewajiban konversi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) bagi kendaraan dengan kapasitas tertentu (misal, di atas 2000cc).
9. Memperkuat peran BULOG melalui pemberian perna impor dan penimbunan cadangan bahan-bahan pangan penting
10. Memperkecil koridor lalu-lintas devisa dengan menyetop hutang luar negeri BUMN dan sektor swasta. Memperlancar distribusi komoditas-komoditas pangan dan memberi hukuman SANGAT BERAT bagi distributor penimbun (Kasus PT Cargil yang menimbun 13 ton Kedelai perlu dibekukan ijinnya dan dituntut secara pidana). Mengawasi lalu-lintas impor secara lebih ketat, penyelundup perlu di beri shock therapy.

III. CATATAN EFEKTIFITAS BUNGA KENDALIKAN EKONOMI

Efektifkah “bunga”?

• Kejadian capital market USA yang “tidak merespon langsung: kebijakan penurunan suku bunga (yang termasuk terbesar dalam sejarah USA). Menjadi pertanyaan tersendiri:

“ADA APA DENGAN BUNGA ?”
“APAKAH BUNGA SUDAH BUKAN ALAT EFEKTIF KENDALIKAN EKONOMI?”

• Nampaknya investor global mulai sadar, bunga bukan lagi salah satu faktor yang mampu mengendalikan pasar finansial. Ada keraguan, efektivitas bunga sebagai alat pengendali moneter. Selamatkan pasar finansial, tetapi belum tentu selamatkan ekonom riil.
• Efektifitas ke pasar finansial baru terjadi selang 5 hari setelah diumumkan, barulah indeks harga saham naik.

• Pertanyaan lanjutan:

“AKANKAH EFEKTIF MENARIK INVESTASI RIIL?”

• Ini memerlukan waktu untuk membuktikannya.
• Tapi, apapun buktinyananti. Nampaknya, investor dan analis mulai sadar, ada sesuatu yang harus dipikirkan tentang efektifitas bungan untuk mengendalikan ekonomi!!!
• Penyelamatan yang dilakukan USA dengan menurunkan suku bunga adalah gambling besar dengan resiko menurunnya nilai mata uang USD. Dengan Fed Rate yang rendah, sangat mungkin uang keluar dari USA> Padahal, di saat yang sama, USA sedang menghadapi inflasi. Meski demikian, meski sering terjadi anomali, pada saat yang sama ada paket ekonomi untuk menstimulus perekonomian.

Ekonomi Islam melarang tindakan spekulatif

• Pelarangan maisir (perjudian) dalam Al Qur’an dan Hadits selalu diikuti dengan pelarangan minum khamar, mengapa?
• Keduanya secara mekanistik mempunyai dampak yang sama.
• Perilaku spekulatif (masisir/perjudian) dalam perekonomian akan mengganggu sirkulasi uang dan perekonomian secara keseluruhan akan terganggu

Ekonomi Islam mengembalikan uang pada fungsinya. Uang bukan komoditi.

• Uang merupakan alat tukar (alat transaksi) dan pengukur nilai bukan sebagai penyimpan nilai, alat spekulatif dan bukan komoditi.
• Uang dalam perekonomian merupakan pelumas sedangkan proses produksi (sektor riil) merupakan mesin dalam perekonomian.
• Pelumas (uang) tanpa mesin (produksi/sektor riil) tidak ada gunanya sedangkan produksi/sektor riil tanpa uang akan tetap berjalan tetapi tidak akan lancar dan akan cepat rusak.
• Apabila uang telah dijadikan komoditi maka para pemilik uang (pemodal) tidak akan tertarik memasuki sektor riil sehingga penyediaan barang dan jasa (output perekonomian) akan terganggu dan perekonomian akan mengalami kontraksi sehingga harga akan melambung (inflasi), pengangguran dan kemiskinan meningkat.
• Jangan memisahkan (mendikotomi) perekonomian menjadi sektor moneter dengan sektor riil
• Pertumbuhan sektor moneter merupakan representasi dari pertumbuhan sektor riil sehingga sektor finansial tidak akan tumbuh dan berkembang apabila sektor riil tidak tumbuh dan tidak berkembang
• Pada saat ini pertumbuhan dan perkembangan sektor moneter tidak ada hubungannya dengan sektor riil
• Krisis sektor finansial di pasar global dapat terjadi karena uang telah menjadi komoditi sehingga sektor riil ditinggalkan

Sistem bunga adalah pendistorsi perekonomian. Sistem Bagi Hasil adalah penstabil perekonomian.

• Sistem bunga merupakan sistem yang based of funds sedangan sistem bagi hasil merupakan sistem based of income
• Pembayaran bunga merupakan biaya (biaya input produksi yaitu biaya modal) sehingga akan meningkatkan biaya pokok produksi kemudian akan meningkatkan harga jual dan apabila terjadi kenaikkan secara umum maka terjadilah inflasi maka bunga merupakan inflatoir
• Pembayaran bagi hasil bukan merupakan biaya (bukan biaya modal) sehingga tidak akan meningkatkan biaya pokok produksi dan bukan inflatoir

Kesalahan dalam merumuskan dan menjawab permasalahan ekonomi dalam ekonomi konvensional

• Konvensional:
– Apa
– Bagaimana
– Untuk siapa
• Islam:
– Siapa
– Apa dan berapa
– bagaimana

Dampak dari paradigma konvensional tersebut adalah terjadinya ancaman krisis pangan (sembako) baik nasional maupun global. Perekonomian mengabaikan sektor pangan karena dianggap hanya memberikan keuntungan bisnis yang rendah dan para pelaku ekonomi (pemilik modal) lebih tertarik pada pasar uang karena memberikan keuntungan yang tinggi dalam waktu singkat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)