Kompas Edisi Jatim, 30 Oktober 2007

Perbankan Jatim, Berpihaklah Pada UMKM!!!
Gaung peningkatan fungsi intermediasi sektor perbankan pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tampaknya mulai meredup. Hal ini ditunjukkan, salah satunya, dengan merosotnya porsi kredit UMKM dalam setahun terakhir. Sudah lelahkah industri perbankan membiayai UMKM lantaran sektor riil masih tidak menunjukkan geliatnya?

Dari data Bank Indonesia (BI), secara nominal, kredit UMKM mengalami pertumbuhan sekitar 19,52 persen pada Juli 2007 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, porsi kredit UMKM dari seluruh total kredit pada Juli tahun ini tidak sebesar periode sebelumnya. Maraknya proyek infrastruktur berskala korporasi dituding sebagai salah satu penyebab beralihnya porsi kredit UMKM belakangan ini. (Kompas, 15 September 2007)

Fenomena menurunnya porsi kredit UMKM belakangan ini memang berbeda jauh dengan kondisi selama 2002-2005. Saat itu, porsi kredit UMKM terus mengalami peningkatan. Banyak pendapat yang mencoba menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah keberadaan kredit konsumsi yang secara signifikan mampu memicu tinggi rendahnya angka-angka statistik tersebut. Hal ini pula yang terjadi di Jawa Timur (Jatim).

Pada akhir tahun 2002, dibandingkan dengan total plafon kredit perbankan secara keseluruhan, rasio plafon kredit UMKM di Jatim mencapai 42,78 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rasio tahun sebelumnya yang sebesar 35,12 persen. Apabila dilihat dari jenis penggunaan kredit UMKM, sebagian besar kredit mulanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja UMKM, yang disusul kemudian untuk kebutuhan konsumsi dan investasi. Menariknya, saat itu sudah mulai tampak kecenderungan meningkatnya pangsa kredit konsumsi yang meningkat dari 21,8 persen pada akhir tahun 2001 menjadi 26,5 persen pada akhir tahun 2002 atau sebesar Rp 2,11 triliun.

Pada saat itu juga, pada akhir tahun 2002, tercatat pertumbuhan plafon kredit konsumsi meningkat fantastis sebesar 73,6 persen, jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 40,8 persen. Melonjaknya pangsa kredit konsumsi ini menyebabkan pangsa kredit modal kerja turun tajam dari 70,1 persen pada akhir tahun 2001 menjadi 65,3 persen pada akhir tahun 2002. Sedangkan pangsa kredit investasi relatif tetap, hanya berkisar di angka 8 persen.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdongkraknya pertumbuhan kredit UMKM Jatim sepanjang 2002-2005 lebih dipicu oleh meningkatnya kredit konsumsi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 yang menurunkan daya beli masyarakat ditengarai sebagai penyebab utama melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi pada tahun 2006 hingga saat ini. Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi menyebabkan lambatnya pula pertumbuhan kredit UMKM.

Saat ini, kredit bermasalah di sektor UMKM Jatim pun masih menunjukkan angka yang memprihatinkan. Angka rata-rata dari rasio kredit bermasalah telah melampaui batas aman. Tren kenaikan rasio kredit bermasalah dari UMKM ini mulai menunjukkan kecenderungan sejak Desember 2006. Akankah menurunnya porsi kredit UMKM secara nasional juga akan diikuti oleh Jatim, mengingat sektor riil yang tidak menunjukkan kemajuan ditambah lagi dengan kredit bermasalah yang meningkat?

Polemik antara pemerintah dan BI atas kurang optimalnya pemenuhan fungsi intermediasi perbankan ke sektor riil sudah terlalu sering menjadi bulan-bulanan di media. Tidak penting membicarakannya lagi. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perbankan masih cenderung lebih senang dan nyaman menempatkan dananya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan adanya tren turunnya BI Rate, tampaknya hal tersebut masih tidak menyurutkan minat perbankan untuk tetap menyimpan dananya dalam SBI. Sekali lagi, belum bergeraknya sektor riil kembali menjadi alasan utama.

Di Jatim, dana perbankan yang menganggur sampai pada Mei 2007 lalu sudah mencapai Rp 15,6 triliun. Banyak industri besar yang membutuhkan dana segar untuk ekspansi usaha terpaksa meminjam dana pada pembiayaan asing. Loan to deposit ratio (LDR) rata-rata bank umum di Jatim saat ini berkisar 58,38 persen. (Kompas, 16 Juli 2007). Ini artinya, BI dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim masih perlu bekerja ekstra keras untuk merangsang iklim kondusif bagi sektor riil sekaligus menggugah keberpihakan industri perbankan di Jatim untuk melemparkan kredit pada sektor riil, termasuk UMKM di dalamnya. Tidak perlulah menunggu komando dari pusat untuk mewujudkan keberpihakan ini.

Mengapa perlu keberpihakan? Tidak bisa tidak, tanpa adanya keberpihakan maka segala problematik yang ada tidak akan pernah berujung. UMKM merupakan representasi dunia usaha di Indonesia, termasuk di Jatim. Pengalaman telah membuktikan bahwa kegiatan ekonomi kerakyatan dalam bentuk UMKM merupakan bagian terbesar dari kegiatan ekonomi masyarakat di Indonesia yang dapat bertahan hidup. Karena itulah, salah satu strategi pemulihan ekonomi nasional yang perlu ditempuh adalah memberdayakan sektor UMKM.

Tidak perlu menunggu gong dari pusat untuk melakukan gebrakan terhadap pemulihan fungsi intermediasi terhadap UMKM. Tidak perlu pula menunggu gaung dari pusat untuk merealisasikan keberpihakan pada UMKM. BI di Jatim bersama-sama dengan pemerintah daerah, berinisiatiflah untuk menjadi pionir keberpihakan ini. Duduklah bersama untuk mencari jalan dan menggandeng pihak lain untuk bekerja sama. Berpikirlah kreatif dan gunakan hati untuk keberpihakan ini. Misalnya, dengan mengalokasikan dana APBD untuk menjadi penjamin kredit bagi UMKM. Atau mengajak industri perbankan dan lainnya untuk menempatkan dana corporate social responsibilities (CSR) sebagai modal kredit tanpa agunan (KTA). Atau batasi pelemparan kredit konsumsi dan beri kelonggaran pada kredit modal kerja dan investasi. Atau canangkan budaya hemat dan kurangi budaya konsumtif. Atau mengajak industri perbankan konvensional untuk belajar konsep syariah agar orientasi bisnis tidak hanya untuk mencari keuntungan semata, tapi juga sebagai misi sosial ekonomi. Atau mencari solusi rendahnya pembiayaan bagi hasil pada perbankan syariah. Atau… pasti masih banyak lagi!!!

Apapun inisiatif itu dan apa saja yang sudah dilakukan, jangan pernah lelah untuk terus konsisten pada keberpihakan. Kemauan tanpa kemampuan masih bisa diperjuangkan. Tapi kemampuan tanpa kemauan, tetap saja tidak akan berhasil. Dunia usaha, termasuk UMKM sangat bergantung pada perbankan. Hampir 95 persen industri keuangan di Indonesia adalah perbankan. Termasuk di Jatim. Topangan dan dukungan perbankan terhadap keberhasilan perekonomian daerah dan nasional sangat substansial. Tanpa perbankan, kemajuan ekonomi Indonesia akan terbata-bata. Jadi, perbankan Jatim, berpihaklah pada UMKM!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)